Kadang dia bingung sendiri, kenapa
dia bisa begitu cepatnya jatuh cinta kepada seseorang yang baru ia kenal dan
begitu cepat pula ia patah hati karenanya. Mungkin predikat sebagai cewek
playgirl sudah ia dapatkan.
Kedatangan guru baru yang masih
muda, tampan, dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Sejak
pertama bertemu dengan guru barunya itu, Oik sudah suka sama dia. Oik
mengutarakan isi hatinya itu kepada sahabatnya, Cakka. Malam hari, Di atap
salah satu gedung yang ada di Jakarta, yang merupakan tempat favorit mereka.
Bukan di mall, danau, taman, atau sejenisnya.
“What?
Yang bener aja loe Ik, nggak usah aneh-aneh gitu deh. dia itu guru kita,” Ujar
Cakka protes.
“Gue
nggak gila, tapi emang itu perasaan gue. Pokoknya bagaimanapun caranya aku
harus dapetin Pak Riko. Loe bantuin gue ya Kka? Please.” Oik menyatukan
tangannya di depan dada dengan muka memohon.
Cakka
menimbang-nimbang permintaan sahabatnya itu. “Ayolah kka, mau ya”
“Nggak!
Mending loe cari mangsa lain aja deh!” Cakka menatap Oik,
“Nggak
Kka. Aku nggak bisa. Ayolah Kka, Cakka baik deh. ih ganteng banget sih kalo
lagi manyun.” Oik menyenggol-nyenggol lengan Cakka manja sambil terus
menggodanya.
“Apaan
sih loe. Gue bilang nggak ya nggak!” bentak Cakka.
“Ya
udah sih, kalo nggak mau. Nggak pake ngebentak juga. dengan atau gak adanya
loe, gue bakal tetep nembak Pak Riko. ‘titik’!” Oik membalas dengan nada
ngebentak juga, dan tatapan mau mengajak perang.
Oik meninggalkan Cakka yang masih
berdiam di atas gedung itu. padahal tadi mereka berangkat bersama kenapa kok
jadinya pisah gini. Tiba-tiba saja Cakka tersadar dari pikirannya, Oik sudah
berjalan menjauhinya.
“Ik
tunggu!” teriak Cakka sambil mengejarnya,
Keesokan harinya Oik membuktikan
kata-katanya semalam dengan Cakka. Oik masih tetep mau nembak Pak Riko. Apapun
resikonya, Oik pikir Pak Riko juga akan menerimanya. Orangtua Oik yang
mempunyai sekolah itu, semua cowok pada tunduk sama kecantikannya. Cakka tidak
punya pilihan lain selain menuruti kemauan gadis itu. Sudah sejak kecil Cakka
dan Oik bersama, rumahnya cuman bersebelahan, kedua orangtua mereka sahabat.
Tapi Cakka masih saja memberikan nasihat-nasihatnya ke Oik, agar gadis itu
mengurungkan niatnya.
Pulang sekolah Oik mengajak Cakka
pergi ke mall untuk membeli baju baru, buat nanti malam bertemu dengan Pak
Riko.
“Ik,
seriusan loe mau ngajak Pak Riko kencan malam ini?” tanya Cakka masih belum
yakin, ia terus mengikuti gadis itu melangkah.
Oik
berhenti mendadak yang membuat Cakka menabrak dirinya, “Iyalah, loe itu mau
ngebantuin gue nggak sih sebenernya? Gue juga bisa sendiri kok, kalo loe emang
nggak mau.” Oik berbalik dan melanjutkan berjalan.
“Iya-iya.”
Cakka pun pasrah.
1
jam kemudian
Cakka mengikuti Oik sambil terus
mengeluh, tapi Oik mengabaikannya. Kini di kedua tangan Cakka sudah memegang
kantong-kantong plastik dari berbagai merk, yang pasti isinya baju, sepatu, dan
sebangsanya.
“Kka,
liat deh. Ini baju cantik banget. Warnanya hitam, ih so sweet. Pasti Pak Riko
pake kemeja hitam.” Oik memegang gaun berwarna hitam itu sambil membayangkan
nanti malam.
Cakka
hanya melongo melihat Oik yang tersenyum-senyum gitu, “Loe mau beli lagi?”
tanya Cakka tak percaya.
“Ayolah
Kka, ini keren banget. Pake uang gue juga kan?”
“Nggak.
Loe jangan boros deh! kalo loe mau beli itu, jadi dari tadi sejam kita
muter-muter nggak jelas, dengan berbagai kantong palstik ini mau ngapain? Loe
nggak mungkin pake semua baju ini untuk nanti malam kan?” Ujar Cakka panjang
lebar.
Senyum
Oik pudar, pandangannya beralih dari gaun di depannya itu ke arah Cakka.
“nggaklah emangnya gue badut apa? Please, sekali ini saja. Aku janji deh nggak
bakal boros lagi.” Melihat tampang melas Oik, Cakka hanya bisa menghela napas
berat.
Oik
pergi untuk membayarnya. Cakka diam mematung, melihat ke arah dirinya di depan
cermin. Dengan dandanan yang kusut, seragam SMA yang masih melekat ditubuhnya
yang belum mandi dari pulang sekolah. Tampang kucel. Kedua tangan penuh
belanjaan.
‘Susah
juga ya jadi cowok. Harus kerja keras nyari uang, sedangkan sang istri cuman
bisa menghamburkan uang. Harus pintar-pintar cari uang nih buat melamar Oik.’
Cakka senyum-senyum sendiri di depan cermin.
Seseorang
menepuk pundaknya. “Nih belanjaannya.” Oik mengulurkan kantong berisi gaun itu
ke arah Cakka. Namun tak ada jawaban, Oik melihat ke arah cermin di depannya.
Melihat Cakka yang senyum-senyum sendiri gitu ia bergidik ngeri, “Cakka!
Ngapain sih loe senyum-senyum gaje gitu. Bikin ngeri deh”
“Eh,
anu, nggak kok. Gak apa-apa. Udah ya belanjanya?” Cakka menerima belanjaan Oik.
Karena sudah terlalu sore, Cakka dan
Oik pun memutuskan untuk segera pulang. Tanpa mampir makan terlebih dahulu.
Malam harinya. Oik sedang mematut
diri di depan cermin. Ia memakai gaun hitam selutut tanpa lengan.
‘Bib-biiibbbbbbb’
suara klakson motor Cakka sudah menggema
di halaman rumahnya. Setelah memastikan penampilannya sekali lagi, Oik segera
meraih tas kecilnya, dan cepat-cepat turun menghampiri Cakka.
Sesampainya
di depan. Oik mengagetkan Cakka yang masih mengelus-ngelus jambul rambutnya di
depan kaca spion motor Cagiva merahnya.
“Dorrr!”
“Eh,”
Cakka kaget, namun ia malah memperhatikan kaca spion. Seperti tidak percaya
dengan penampilan gadis itu malam ini.
“Cakka,
ayo dong!”
Cakka
menoleh menatap Oik, “ini beneran loe Ik?”tanyanya masih tak percaya.
“Iyalah
ini gue. Emang kuntilanak apa? Cepetan ayo berangkat ntar keburu telat!” Oik
naik ke tempat boncengan tanpa disuruh Cakka. Cakka pun melajukan motornya.
Oik masih saja diam di depan sebuah
resto cepat saji. Cakka jadi bingung sendiri dengan cewek disampingnya.
“Nunggu
apa lagi sih? Cepetan masuk!” Suruh Cakka.
“Tapi
Kka,”
“Udah
yuk masuk!” Cakka menggeret tangan Oik. Namun Oik cepat-cepat melepaskannya.
“Siapa
yang suruh kamu juga ikutan masuk?” tanya Oik,
“Sebagai
sahabat gue harus dong ikutan masuk. Laper nih perut gue” Cakka memelas,
“Nggak.
Loe tetep disini! Mending loe nunggu di luar aja sana.” Oik mendorong-dorong
Cakka keluar.
“Iya-iya.”
Dengan muka cemberut, Cakka melangkahkan kakinya keluar dari resto itu.
Oik berjalan dengan anggunnya ke
arah meja no. 12. Pak Riko sudah menunggunya di sana. Sambil sesekal melihat ke
arah jam tangannya.
“Maaf
pak, sudah menunggu lama ya?” tanya Oik.
“Oh
ternyata kamu yang mau ketemu saya? Cepetan ngomong sekarang, saya masih banyak
perlu” Ujar Pak Riko meremehkan.
“Iya
pak.” Oik memegang tengkuknya, “saya cuman mau bilang. Kalo saya Cinta sama Pak
Riko. Jadi Pak Riko mau nggak terima saya sebagai kekasih bapak?” Oik
mengatakannya tanpa kesalahan sedikitpun.
“Maaf,
saya tidak bisa. Saya itu guru kamu dan kamu murid saya. Saya tidak ada
perasaan lebih ke kamu.”
“Tapi
Rik, ini kan di luar jam sekolah. Jadi kita tidak bisa menyangkut pautkan
dengan masalah sekolah” Oik mengelak.
“Cukup.
Saya itu guru kamu, kamu tidak sepatutnya memanggil saya hanya dengan nama.
Pake Pak!” kata Riko tegas. Ia melihat jam lagi, “Ok. Mungkin itu saja yang mau
kamu omongkan? Saya harus pergi sekarang. Lupakan malam ini!” suruhnya tajam.
Oik
hanya menunduk, tak terasa airmatanya mulai menetes. ‘kenapa sih? Riko nggak
mau terima gue, apa karna statusnya sebagai guru dan aku muridnya?’ oik
merutukinya dalam-dalam. Oik segera meraih tas tangannya dan pergi meninggalkan
Riko yang masih diam di tempatnya, dengan airmata Oik yang terus bercucuran.
Sepertinya malam ini ia akan menyendiri lagi.
Cakka
yang masih duduk di tempatnya melihat Oik keluar sendirian. Dengan airmata.
‘Apa?
Airmata?’ Cakka heboh sendiri. Cakka segera menghampiri Oik,
“Kenapa
loe nangis?” tanya Cakka.
“hiks..hiks..Gue..
hiks.. ditolak..hiks.. sama.. dia.. huhuhu” Kata Oik terbata. Tangisnya pecah.
“Udah
gue bilang kan? Loe sama Pak Riko itu nggak bakal bisa bersatu, Pak Riko cuman
anggap kamu muridnya.”
“Huaaaaaa........
Cakkka... loe amat sih sama gue” tangis Oik semakin kencang.
“lagian
sih loe ada-ada aja! Ngapain juga harus Pak Riko.” Cakka malah membalas Oik,
“Caaakkkkkkaaaaaaa”
Oik menatap Cakka tajam dengan airmata yang terus turun dari kedua matanya.
“Eh
ngapain loe teriak-teriak” Cakka kelabakan sendiri. Berabe kan kalo orang ngira
dia ngapa-ngapain Oik sampe nangis.
Oik mengacuhkan Cakka. Oik malah
berjalan ke atap gedung resto itu. Melihat kendaraan yang kecil-kecil karena
dilihat dari situ. Hanya suara kendaraan, dan ditemani terangnya bintang malam
itu. Cakka mengikutinya.
Oik masih saja sesenggukan. Cakka
tak tega melihatnya, hatinya merasa sakit saat melihat airmata itu turun. Cakka
merengkuh tubuh Oik. Mencoba menenangkan gadis itu. Oik bersandar di dada
Cakka, kehangatan menjalari sekujur tubuhnya. Kehangatan yang menenangkan, Oik
mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali ia mendapatkan kehangatan itu.
sekitar 8 tahun yang lalu, kini ia mendapatkan kehangatan itu lagi dalam
dekapan Cakka. Tiba-tiba saja Oik rindu dengan bundanya. Bunda telah
meninggalkan Oik dan ayah di dunia ini.
Cakka merasa Oik sudah tidak
menangis lagi. Cowok itu melapaskan rengkuhannya. Oik mendongakkan kepala
bingung. Angin berhembus sedikit kencang. Cakka melepaskan jaketnya,
memakaikannya ke tubuh Oik.
“Makasih”
ucap Oik.
“Setelah
ini loe mau sama siapa lagi?” tanya Cakka dengan nada tenang,
“Nggak
tahu.” Jawab Oik lemah,
“Gimana
kalo sama gue aja?” tanya Cakka sambil menaik-turunkan alisnya dengan
seringaian khasnya.
Oik
menoleh ke arah Cakka, “Ogah! Loe udah basi! Nggak usah mulai deh Kka.” Oik
mengalihkan pandangannya dari cowok itu. pandangannya menerawang jauh, Cakka
jadi ikut-ikutan mengingat waktu itu.
-Flashback on-
“Ayo dong temenin Oik main
boneka”
“Ayo,” ujar anak cowok kecil
sekitar berumur 7 tahun sepertinya.
“Kamu jadi ayahnya ya Kka,
aku Ibunya, dan teddy anaknya.” Ujar Oik semangat.
“Iya.” Saat mereka sedang
asyik bermain, tiba-tiba saja datang seorang anak kecil cowok satu lagi.
“Cakka, kamu kayak cewek.
Mainnya kok boneka? Lihat nih, mobil-mobilan punyaku.” Ujar anak itu.
“Alvin, kamu kok gitu sih?”
Oik memprotes.
“Udah ya Ik, biarin aja. Vin,
kayaknya aku masih kepingin main rumah-rumah kok. Iya nggak ik?”
“Makasih ya Kka. Kamu baik
deh. Kamu mau nggak jadi pacarku?” tanya Oik polos.
“Kita masih kecil Ik” ujar
Cakka.
“Cakka gitu” Oik membanting
teddynya pergi meninggalkan Cakka dan Alvin yang masih terbengong.
-Flasback
end-
“hahahahhaha.....”
Cakka masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Sedangkan Oik cemberut, ada rona
merah di kedua pipinya.
“Ih
apaan sih Loe! Ngapain sih kejadian itu masih loe inget” Oik bersedakep di
depan dadanya.
“Habis,
loe lucu banget sih waktu itu” Cakka mulai mengurai tertawanya. Kini ia mulai
serius. “Gimana? Loe mau kan?” tanya Cakka.
“Nggak
mau.”
Cakka
berpindah tempat menjadi di depan Oik.“Loe bisa kan nembak gue lagi? Apa susahnya
sih?” tanya+suruh Cakka.
“Gue
bilang nggak- ya enggak Cakka” Oik mendelik. “Becanda lo nggak lucu.”
“Tapi
Ik..” Cakka masih memandangi punggung Oik yang terus menjauhinya.
‘Gue
nggak pernah becanda Ik sama ucapan gue. Gue suka sama loe’
-tit-tit-tit-
nada dering hp Cakka berbunyi.
“Hal..”
belum sempat Cakka menyapa, orang di seberang sudah teriak-teriak.
“Mau
pulang nggak? Cepetan, gue udah di mobil loe!.” suruh Oik memutuskan sambungan.
Setelah memasukkan Hpnya ke saku
celana, Cakka cuman bisa senyum-senyum sendiri. Tanpa menunggu waktu lagi untuk
berfikir, Cakka pun segera mengejar Oik.
***
Semakin hari, semua siswa SMU CAHAYA
semakin disibukkan dengan perayaan penyambutan hari jadi sekolah. Terutama bagi
para OSIS. Oik sendiri sebagai Ketua OSIS SMU CAHAYA jadi kelimpungan dengan
kegiatan itu, ia harus mengumpulkan tugas akhirnya, mengurusi lomba lari
maraton, apalagi nanti waktu hari ‘H’nya. Tapi masih untung ada Cakka yang siap
siaga untuk membantu Oik kapan saja dibutuhkan. Jabatan Cakka di sekolah
sebagai WaKetOs.
Siang ini Oik di panggil oleh Bu Oky
guru Fisikanya. Beliau termasuk salah satu guru killer di sekolahnya. Mau tidak
mau Oik pun menemui beliau di ruang guru.
‘tok-tok-tok’
“Silahkan
masuk”
Oik
membuka pintu perlahan, ia memasukkan kepalanya untuk melihat siapa yang di
dalam. Oik mendapati Bu Oky sedang duduk sambil kipas-kipas.
“Siang
Bu” sapanya.
“Silahkan
duduk Oik!” Bu Oky menunjuk kursi yang ada di depannya. Oik pun berjalan
perlahan dengan hati bergumam gak karuan.
“Jadi
kamu sudah tahu kan? Saya panggil kamu kesini karna apa?” Tanya Bu Oky to the
point.
“Iya
bu.” Oik menatap Bu Oky dengan muka memelas. Dalam hati, Oik sendiri sedang
mencari-cari alasan dan menyusun kata-kata yang tepat untuk Bu Oky.
“Sampai
kapan kamu akan menunda tugas-tugasmu itu? apa sampai tahun depan?”
“Iya
bu, saya akan menyelesaikan semua tugas saya secepatnya. Bu Oky kan tahu, saya
masih sibuk untuk mengurusi lomba-lomba yang akan di adakan dalam rangka
menyambut hari jadi sekolah kita. Oh ya, saya juga masih menyusun acara buat tanggal
7 Juli nanti. Jadi please, kasih saya dispensasi sekali lagi. Saya janji, hari
sebelum Pensi tugas sudah selesai.” Oik menjelaskannya panjang lebar, dengan
gaya bicaranya itu. Biasanya kalo Oik sudah mengeluarkan senjatanya itu semua
guru akan tunduk, tapi kali ini rasanya tidak dengan guru satu ini.
Bu
Oky menggerak-gerakkan kipasnya yang super gede itu dengan penuh kesabaran
mendengarkan segala penjelasan Oik. “Iya Oik, saya mengerti kegiatan kamu yang
super banyak itu. tapi kenapa kamu tidak menyibukkan diri kamu buat
menyelesaikan tugas kamu saja? Kamu tahu kan? Semester depan kamu sudah ikut
ujian. Jadi lebih baik selesaikan saja tugasmu di semester ini.”
“Baik
Bu. Saya akan menyelesaikannya sebelum malam pensi.”
“Saya
pegang janji kamu.” Bu Oky pun mengalah juga, daripada terus berdebat dengan
muridnya yang satu ini. “Ok, silahkan kamu bisa keluar dari ruangan saya”
“Baik
bu. Permisi.” Setelah menutup pintu, Oik berdiri sejenak. Oik menghela nafas
lega, “huft, untung saja gue punya alasan.” Oik tersenyum, kemudian berjalan
menjauhi ruangan itu.
“Oik”
Oik
menoleh ke samping, ternyata Cakka. “Hai Kka, gimana?” tanya Oik.
“Beres..
hhh” Cakka merangkul pundak Oik, “tugas loe belum selesai ya?” tanya Cakka.
“Iya
nih. “
“Ya
udah, nanti biar gue bantu ngerjainnya” Cakka tersenyum,
“Makasih
ya kka J” Oik tersenyum tulus, Cakka meletakkan
sebelah tangannya di pinggang sambil menaikkan alisnya. “Ngapain?” tanya Oik
bingung.
“Gak
romantis banget sih, siniin tanganmu” Cakka mengedik ke arah sikunya.
“Oh
bilang dong dari tadi. Dasar Cicak” Oik pun meletakkan tangannya di siku Cakka.
Sambil bercanda Cakka dan Oik pun berjalan bersama.
Di sebuah kamar yang cukup luas,
Cakka terlihat masih sibuk dengan sebuah buku di tangannya, sedangkan Oik
tiduran di samping Cakka sambil mengutak-atik laptopnya.
“Aduh
Kka, makasih banget ya loe mau bantuin ngerjain tugas gue. Loe emang sahabat
terbaik gue deh” Oik berhenti dari aktivitasnya semula dan melirik ke arah
Cakka di sebelahnya.
Cakka
mengetuk-ngetukkan bolpoin di keningnya,melirik ke arah Oik yang masih
memandangnya. “Ah loe Ik, biasa aja kali. Ini kan gunanya sahabat.”
“Tapi
kan Kka....”
“Sttt..”
Cakka meletakkan telunjuknya di bibir Oik, “Loe kok gitu sih? Gue nggak mau ya
loe ngucapin terimakasih berkali-kali kayak gitu. Kayak gue siapa loe aja,”Oik
hanya diam. “Udah ah lanjutin. Cepetan selesaiin gue udah ngantuk nih”
“Ck,
iya-iya.” Oik pun melanjutkan pekerjaannya. Cakka yang melihatnya hanya
geleng-geleng kepala.
‘Sahabat...
itulah arti diri gue buat loe. lucu banget sih kalo gue berharap lebih Ik, :D.
Aku nggak akan ngebiarin kamu capek sendirian, kita akan sama-sama terus. J’
***
Menjadi Ketua OSIS itu melelahkan
juga ternyata. Harus ini lah, itu lah, apalagi kalau mau ada kegiatan seperti
ini. Hari ‘h’ hampir mendekati.
Oik sedang menempel-nempelkan
pengumuman di mading dekat lapangan basket. Saat sibuk-sibuknya, tiba-tiba saja
seseorang datang mendekatinya.
“Lagi
sibuk ya, Ik?” tanya orang itu dengan pakaian basketnya yang penuh keringat.
“Iya
nih, Vin.” Oik cuman menoleh ke arah Alvin singkat, lalu kembali dengan
pekerjaannya lagi.
“Kok
nggak ada yang bantuin? Wakil ketosnya kerjaannya apa aja emang?” Alvin menoleh
ke arah seberang dan menatap Oik kembali.
“Cakka
lagi ngerjain tugasnya lah. Kan kita udah bagi tugas.” Oik masih tetap cuek.
“Masak
sih? Aku nggak percaya kalo dia udah ngerjain tugasnya. Apa emang tugasnya itu
cuman ngegodain cewek doang?” Alvin tersenyum sinis sambil melirik ke arah
Cakka yang berada di mading seberang dari mereka berdiri sekarang.
Oik
mengikuti arah pandang Alvin. Pandangan Oik jatuh tepat pada Cakka yang
sekarang masih tertawa bersama seorang gadis yang Oik kenal dia Nadia adek
kelasnya juga anggota OSIS.Cakka tidak merasa kalau sejak tadi diperhatikan.
Sekarang malah Cakka dan Nadia meninggalkan tempat itu sambil sesekali tertawa.
‘emangnya
apa sih yang mereka ceritakan sampe segitunya.’ Dalam hati Oik geram sendiri
melihat adegan barusan. ‘eh, tapi ngapain juga gue ngurusin Cakka sama Nadia.
Nggak ada kerjaan banget.’ Oik menggeleng-nggelengkan kepalanya membuang
jauh-jauh pikiran itu.
“Kamu
nggak negur dia. dia nggak ngerjain tugas tapi malah pacaran gitu. Kamu kan
KetOs.” Alvin masih saja memanas-manasi Oik.
“emang
gue yang kasih tugas itu kok, Cakka sama Nadia kan sama-sama panitia. Jadi
mereka kan bisa saling bantu buat nempelin brosur.” Oik menatap Alvin. “Jadi lo
tenang aja. Itu urusan gue.” Oik berlalu dari hadapan Alvin yang masih
terbengong-bengong sama ucapan Oik tadi.
“Cuek
banget sih lo, gue bakal ngedapetin lo. Dan gue juga bakal misahin lo sama
Cakka. Gue bakal buat lo menyesal karna telah memilih Cakka daripada gue. Oik,
tunggu aja itu bakal terjadi.” Alvin tersenyum sinis.
Oik membawa beberapa map untuk
dikasihkan ke Nadia. Sebenarnya Oik males banget kalau harus berhadapan sama
adek kelasnya satu itu. Karena Cakka tadi ada urusan, jadinya Oik deh yang
menyerahkan.
Saat
Oik sudah sampai di depan kelas X.2 kelas Nadia berada, Oik bimbang mau masuk
atau nggak. Namun tak sengaja, Oik mendengar percakapan.
“Aku
sebel banget tahu nggak, sama kak Oik. Kasian kak Cakka kan, tiap hari ngurusin
urusan yang seharusnya bukan urusannya. Tapi kak Oik itu nggak pernah sadar
sama apa yang ia perbuat ke kak Cakka.” Oik menduga ini suara Nadia.
Oik
yang mendengar namanya disebut-sebut merasa tersinggung. ‘lagian siapa juga
yang mau dibantu. Itu kan Cakkanya sendiri dengan sukarela mau ngebantu gue.’
Batin Oik menimpali ucapan Nadia.
“Terus
lo cuman diem aja gitu Nad?” tanya temannya.
“Ya
nggaklah, kemarin gue ngebantuin Kak
Cakka juga.”
“Gila
ya kak Cakka sampe segitunya mau ngebantuin kak Oik. Baik banget deh,” Ujar
teman Nadia lagi.
“gue
juga nggak habis pikir Siv, kenapa kak Cakka mau susah gitu buat kak Oik. Kak
Oiknya aja jelas-jelas nggak peduli sama tugas-tugasnya, nggak peduli sama
Cakka. Nggak tau diri banget tuh kak Oik.”
‘jlebb’
Udah
cukup Oik menahannya, airmatanya sudah menggenang. Namun Oik mencoba
menahannya, mencoba menahan emosinya agar tidak meluap-luap. Untung saja tidak
banyak orang yang ada di situ, karena memang ini masih jam istirahat.
Oik
memutuskan untuk mengetuk pintu kelas.
‘tok,
tok, tok’
“Permisi,
Nadia.” Oik memanggilnya.
Nadia
dan teman-temannya kaget melihat Oik ada di depan kelasnya. Padahal barusan dia
dan teman-temannya sudah membicarakannya.
“Nad,
kak Oik tuh.” Bisik Pricill.
“Iya,
gue tahu.” Nadia pun dengan kikuk melangkah keluar menuju ke tempat Oik.
“Ada
apa ya kak?” Tanya Nadia, berusaha sewajar mungkin.
Oik
tersenyum, “Ini berkas-berkas yang kamu minta dari Cakka. Cakka tadi yang
nyuruh aku, nggak tuh dia mau kemana.”
“Oh,
makasih kak.”
“Ya
udah, Nad. Aku kembali ke kelas dulu.” Setelah pamit Oik berbalik, karna sudah
tak sanggup menahan airmatanya lagi, Oik pun berlari. Oik tak menghiraukan
orang yang sudah ditabraknya.
“Oik!”
panggil Cakka yang tadi juga menjadi korban Oik. Oik memandang Cakka sejenak
kemudian kembali berlari.
Cakka
yang tidak mengerti hanya mengedikkan bahunya.
Sedangkan
Alvin yang sedang latihan basket berhenti saat dia melihat Oik berlari menuju
ke atap gedung.
“Guys,
gue ada perlu bentar. Kalian lanjutin lagi latihannya.” Alvin segera berlari.
Oik yang kini sudah berada di atap
Gedung sekolahnya menangis, mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya.
“Arrgghh...”
“Kenapa
sih semua orang pada nyalahin gue!! Padahal Cakka bantu juga tanpa gue minta.
Semua orang lebih sayang sama Cakka daripada aku.”
“Oik.”
Panggil seseorang.
Oik
segera menghapus airmatanya. Oik menoleh didapatinya Alvin.
“Alvin?”
“Gue
kira tadi lo mau kemana. Gue khawatir aja sama lo.”
Oik
hanya tersenyum.
“Gue
nggak kenapa-kenapa Vin.”
“Oh
ya, ni gue bawain lo jus Alpukat.” Alvin menyerahkan jus itu kepada Oik.
Oik
mengernyitkan dahi, “Ni buat lo.”
Oik
menerimanya sedikit aneh. “Vin, tapi
gue nggak suka Jus Alpukat.”
Alvin
melongo. “Lho bukannya dulu lo paling suka ya sama ini jus?”
“Iya
Vin, beneran. Gue udah nggak suka.”
“Terus
lo sekarang sukanya sama jus apa?”
“Jus
Mangga.” Oik nyengir.
“Bukannya
jus mangga itu kesukaannya Cakka ya?”
“Iya,
emang.dan gue juga suka jus mangga, sebenernya udah dari dulu.”
Alvin
kecewa, karena ia tidak mengerti Oik. “Ya udah deh, ntar lo gue beliin.” Alvin
mengacak rambut Oik.
'Ini semua gara-gara dulu gue memilih
meninggalkan Oik. Karna bokap sama nyokap pindah tugas, otomatis rumah juga
pindah. Dan pasti Oik sama Cakka makin lengket waktu itu. Tapi aku akan bayar
semua itu, Ik. aku akan ngelakuin apa aja supaya kamu dekat lagi sama aku.
Bukan Cakka.'
***