Kamis, 13 Juni 2013

CINTA MARATON Part 1


            Kadang dia bingung sendiri, kenapa dia bisa begitu cepatnya jatuh cinta kepada seseorang yang baru ia kenal dan begitu cepat pula ia patah hati karenanya. Mungkin predikat sebagai cewek playgirl sudah ia dapatkan.
            Kedatangan guru baru yang masih muda, tampan, dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Sejak pertama bertemu dengan guru barunya itu, Oik sudah suka sama dia. Oik mengutarakan isi hatinya itu kepada sahabatnya, Cakka. Malam hari, Di atap salah satu gedung yang ada di Jakarta, yang merupakan tempat favorit mereka. Bukan di mall, danau, taman, atau sejenisnya.
“What? Yang bener aja loe Ik, nggak usah aneh-aneh gitu deh. dia itu guru kita,” Ujar Cakka protes.
“Gue nggak gila, tapi emang itu perasaan gue. Pokoknya bagaimanapun caranya aku harus dapetin Pak Riko. Loe bantuin gue ya Kka? Please.” Oik menyatukan tangannya di depan dada dengan muka memohon.
Cakka menimbang-nimbang permintaan sahabatnya itu. “Ayolah kka, mau ya”
“Nggak! Mending loe cari mangsa lain aja deh!” Cakka menatap Oik,
“Nggak Kka. Aku nggak bisa. Ayolah Kka, Cakka baik deh. ih ganteng banget sih kalo lagi manyun.” Oik menyenggol-nyenggol lengan Cakka manja sambil terus menggodanya.
“Apaan sih loe. Gue bilang nggak ya nggak!” bentak Cakka.
“Ya udah sih, kalo nggak mau. Nggak pake ngebentak juga. dengan atau gak adanya loe, gue bakal tetep nembak Pak Riko. ‘titik’!” Oik membalas dengan nada ngebentak juga, dan tatapan mau mengajak perang.
            Oik meninggalkan Cakka yang masih berdiam di atas gedung itu. padahal tadi mereka berangkat bersama kenapa kok jadinya pisah gini. Tiba-tiba saja Cakka tersadar dari pikirannya, Oik sudah berjalan menjauhinya.
“Ik tunggu!” teriak Cakka sambil mengejarnya,


            Keesokan harinya Oik membuktikan kata-katanya semalam dengan Cakka. Oik masih tetep mau nembak Pak Riko. Apapun resikonya, Oik pikir Pak Riko juga akan menerimanya. Orangtua Oik yang mempunyai sekolah itu, semua cowok pada tunduk sama kecantikannya. Cakka tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan gadis itu. Sudah sejak kecil Cakka dan Oik bersama, rumahnya cuman bersebelahan, kedua orangtua mereka sahabat. Tapi Cakka masih saja memberikan nasihat-nasihatnya ke Oik, agar gadis itu mengurungkan niatnya.
            Pulang sekolah Oik mengajak Cakka pergi ke mall untuk membeli baju baru, buat nanti malam bertemu dengan Pak Riko.
“Ik, seriusan loe mau ngajak Pak Riko kencan malam ini?” tanya Cakka masih belum yakin, ia terus mengikuti gadis itu melangkah.
Oik berhenti mendadak yang membuat Cakka menabrak dirinya, “Iyalah, loe itu mau ngebantuin gue nggak sih sebenernya? Gue juga bisa sendiri kok, kalo loe emang nggak mau.” Oik berbalik dan melanjutkan berjalan.
“Iya-iya.” Cakka pun pasrah.
1 jam kemudian
            Cakka mengikuti Oik sambil terus mengeluh, tapi Oik mengabaikannya. Kini di kedua tangan Cakka sudah memegang kantong-kantong plastik dari berbagai merk, yang pasti isinya baju, sepatu, dan sebangsanya.
“Kka, liat deh. Ini baju cantik banget. Warnanya hitam, ih so sweet. Pasti Pak Riko pake kemeja hitam.” Oik memegang gaun berwarna hitam itu sambil membayangkan nanti malam.
Cakka hanya melongo melihat Oik yang tersenyum-senyum gitu, “Loe mau beli lagi?” tanya Cakka tak percaya.
“Ayolah Kka, ini keren banget. Pake uang gue juga kan?”
“Nggak. Loe jangan boros deh! kalo loe mau beli itu, jadi dari tadi sejam kita muter-muter nggak jelas, dengan berbagai kantong palstik ini mau ngapain? Loe nggak mungkin pake semua baju ini untuk nanti malam kan?” Ujar Cakka panjang lebar.
Senyum Oik pudar, pandangannya beralih dari gaun di depannya itu ke arah Cakka. “nggaklah emangnya gue badut apa? Please, sekali ini saja. Aku janji deh nggak bakal boros lagi.” Melihat tampang melas Oik, Cakka hanya bisa menghela napas berat.
Oik pergi untuk membayarnya. Cakka diam mematung, melihat ke arah dirinya di depan cermin. Dengan dandanan yang kusut, seragam SMA yang masih melekat ditubuhnya yang belum mandi dari pulang sekolah. Tampang kucel. Kedua tangan penuh belanjaan.
‘Susah juga ya jadi cowok. Harus kerja keras nyari uang, sedangkan sang istri cuman bisa menghamburkan uang. Harus pintar-pintar cari uang nih buat melamar Oik.’ Cakka senyum-senyum sendiri di depan cermin.
Seseorang menepuk pundaknya. “Nih belanjaannya.” Oik mengulurkan kantong berisi gaun itu ke arah Cakka. Namun tak ada jawaban, Oik melihat ke arah cermin di depannya. Melihat Cakka yang senyum-senyum sendiri gitu ia bergidik ngeri, “Cakka! Ngapain sih loe senyum-senyum gaje gitu. Bikin ngeri deh”
“Eh, anu, nggak kok. Gak apa-apa. Udah ya belanjanya?” Cakka menerima belanjaan Oik.
            Karena sudah terlalu sore, Cakka dan Oik pun memutuskan untuk segera pulang. Tanpa mampir makan terlebih dahulu.


            Malam harinya. Oik sedang mematut diri di depan cermin. Ia memakai gaun hitam selutut tanpa lengan.
‘Bib-biiibbbbbbb’ suara klakson  motor Cakka sudah menggema di halaman rumahnya. Setelah memastikan penampilannya sekali lagi, Oik segera meraih tas kecilnya, dan cepat-cepat turun menghampiri Cakka.
Sesampainya di depan. Oik mengagetkan Cakka yang masih mengelus-ngelus jambul rambutnya di depan kaca spion motor Cagiva merahnya.
“Dorrr!”
“Eh,” Cakka kaget, namun ia malah memperhatikan kaca spion. Seperti tidak percaya dengan penampilan gadis itu malam ini.
“Cakka, ayo dong!”
Cakka menoleh menatap Oik, “ini beneran loe Ik?”tanyanya masih tak percaya.
“Iyalah ini gue. Emang kuntilanak apa? Cepetan ayo berangkat ntar keburu telat!” Oik naik ke tempat boncengan tanpa disuruh Cakka. Cakka pun melajukan motornya.

            Oik masih saja diam di depan sebuah resto cepat saji. Cakka jadi bingung sendiri dengan cewek disampingnya.
“Nunggu apa lagi sih? Cepetan masuk!” Suruh Cakka.
“Tapi Kka,”
“Udah yuk masuk!” Cakka menggeret tangan Oik. Namun Oik cepat-cepat melepaskannya.
“Siapa yang suruh kamu juga ikutan masuk?” tanya Oik,
“Sebagai sahabat gue harus dong ikutan masuk. Laper nih perut gue” Cakka memelas,
“Nggak. Loe tetep disini! Mending loe nunggu di luar aja sana.” Oik mendorong-dorong Cakka keluar.
“Iya-iya.” Dengan muka cemberut, Cakka melangkahkan kakinya keluar dari resto  itu.
            Oik berjalan dengan anggunnya ke arah meja no. 12. Pak Riko sudah menunggunya di sana. Sambil sesekal melihat ke arah jam tangannya.
“Maaf pak, sudah menunggu lama ya?” tanya Oik.
“Oh ternyata kamu yang mau ketemu saya? Cepetan ngomong sekarang, saya masih banyak perlu” Ujar Pak Riko meremehkan.
“Iya pak.” Oik memegang tengkuknya, “saya cuman mau bilang. Kalo saya Cinta sama Pak Riko. Jadi Pak Riko mau nggak terima saya sebagai kekasih bapak?” Oik mengatakannya tanpa kesalahan sedikitpun.
“Maaf, saya tidak bisa. Saya itu guru kamu dan kamu murid saya. Saya tidak ada perasaan lebih ke kamu.”
“Tapi Rik, ini kan di luar jam sekolah. Jadi kita tidak bisa menyangkut pautkan dengan masalah sekolah” Oik mengelak.
“Cukup. Saya itu guru kamu, kamu tidak sepatutnya memanggil saya hanya dengan nama. Pake Pak!” kata Riko tegas. Ia melihat jam lagi, “Ok. Mungkin itu saja yang mau kamu omongkan? Saya harus pergi sekarang. Lupakan malam ini!” suruhnya tajam.
Oik hanya menunduk, tak terasa airmatanya mulai menetes. ‘kenapa sih? Riko nggak mau terima gue, apa karna statusnya sebagai guru dan aku muridnya?’ oik merutukinya dalam-dalam. Oik segera meraih tas tangannya dan pergi meninggalkan Riko yang masih diam di tempatnya, dengan airmata Oik yang terus bercucuran. Sepertinya malam ini ia akan menyendiri lagi.

Cakka yang masih duduk di tempatnya melihat Oik keluar sendirian. Dengan airmata.
‘Apa? Airmata?’ Cakka heboh sendiri. Cakka segera menghampiri Oik,
“Kenapa loe nangis?” tanya Cakka.
“hiks..hiks..Gue.. hiks.. ditolak..hiks.. sama.. dia.. huhuhu” Kata Oik terbata. Tangisnya pecah.
“Udah gue bilang kan? Loe sama Pak Riko itu nggak bakal bisa bersatu, Pak Riko cuman anggap kamu muridnya.”
“Huaaaaaa........ Cakkka... loe amat sih sama gue” tangis Oik semakin kencang.
“lagian sih loe ada-ada aja! Ngapain juga harus Pak Riko.” Cakka malah membalas Oik,
“Caaakkkkkkaaaaaaa” Oik menatap Cakka tajam dengan airmata yang terus turun dari kedua matanya.
“Eh ngapain loe teriak-teriak” Cakka kelabakan sendiri. Berabe kan kalo orang ngira dia ngapa-ngapain Oik sampe nangis.
            Oik mengacuhkan Cakka. Oik malah berjalan ke atap gedung resto itu. Melihat kendaraan yang kecil-kecil karena dilihat dari situ. Hanya suara kendaraan, dan ditemani terangnya bintang malam itu. Cakka mengikutinya.
            Oik masih saja sesenggukan. Cakka tak tega melihatnya, hatinya merasa sakit saat melihat airmata itu turun. Cakka merengkuh tubuh Oik. Mencoba menenangkan gadis itu. Oik bersandar di dada Cakka, kehangatan menjalari sekujur tubuhnya. Kehangatan yang menenangkan, Oik mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali ia mendapatkan kehangatan itu. sekitar 8 tahun yang lalu, kini ia mendapatkan kehangatan itu lagi dalam dekapan Cakka. Tiba-tiba saja Oik rindu dengan bundanya. Bunda telah meninggalkan Oik dan ayah di dunia ini.
            Cakka merasa Oik sudah tidak menangis lagi. Cowok itu melapaskan rengkuhannya. Oik mendongakkan kepala bingung. Angin berhembus sedikit kencang. Cakka melepaskan jaketnya, memakaikannya ke tubuh Oik.
“Makasih” ucap Oik.
“Setelah ini loe mau sama siapa lagi?” tanya Cakka dengan nada tenang,
“Nggak tahu.” Jawab Oik lemah,
“Gimana kalo sama gue aja?” tanya Cakka sambil menaik-turunkan alisnya dengan seringaian khasnya.
Oik menoleh ke arah Cakka, “Ogah! Loe udah basi! Nggak usah mulai deh Kka.” Oik mengalihkan pandangannya dari cowok itu. pandangannya menerawang jauh, Cakka jadi ikut-ikutan mengingat waktu itu.
-Flashback on-
“Ayo dong temenin Oik main boneka”
“Ayo,” ujar anak cowok kecil sekitar berumur 7 tahun sepertinya.
“Kamu jadi ayahnya ya Kka, aku Ibunya, dan teddy anaknya.” Ujar Oik semangat.
“Iya.” Saat mereka sedang asyik bermain, tiba-tiba saja datang seorang anak kecil cowok satu lagi.
“Cakka, kamu kayak cewek. Mainnya kok boneka? Lihat nih, mobil-mobilan punyaku.” Ujar anak itu.
“Alvin, kamu kok gitu sih?” Oik memprotes.
“Udah ya Ik, biarin aja. Vin, kayaknya aku masih kepingin main rumah-rumah kok. Iya nggak ik?”
“Makasih ya Kka. Kamu baik deh. Kamu mau nggak jadi pacarku?” tanya Oik polos.
“Kita masih kecil Ik” ujar Cakka.
“Cakka gitu” Oik membanting teddynya pergi meninggalkan Cakka dan Alvin yang masih terbengong.
-Flasback end-
“hahahahhaha.....” Cakka masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Sedangkan Oik cemberut, ada rona merah di kedua pipinya.
“Ih apaan sih Loe! Ngapain sih kejadian itu masih loe inget” Oik bersedakep di depan dadanya.
“Habis, loe lucu banget sih waktu itu” Cakka mulai mengurai tertawanya. Kini ia mulai serius. “Gimana? Loe mau kan?” tanya Cakka.
“Nggak mau.”
Cakka berpindah tempat menjadi di depan Oik.“Loe bisa kan nembak gue lagi? Apa susahnya sih?” tanya+suruh Cakka.
“Gue bilang nggak- ya enggak Cakka” Oik mendelik. “Becanda lo nggak lucu.”
“Tapi Ik..” Cakka masih memandangi punggung Oik yang terus menjauhinya.
‘Gue nggak pernah becanda Ik sama ucapan gue. Gue suka sama loe’
-tit-tit-tit- nada dering hp Cakka berbunyi.
“Hal..” belum sempat Cakka menyapa, orang di seberang sudah teriak-teriak.
“Mau pulang nggak? Cepetan, gue udah di mobil loe!.” suruh Oik memutuskan sambungan.
            Setelah memasukkan Hpnya ke saku celana, Cakka cuman bisa senyum-senyum sendiri. Tanpa menunggu waktu lagi untuk berfikir, Cakka pun segera mengejar Oik.
***     
            Semakin hari, semua siswa SMU CAHAYA semakin disibukkan dengan perayaan penyambutan hari jadi sekolah. Terutama bagi para OSIS. Oik sendiri sebagai Ketua OSIS SMU CAHAYA jadi kelimpungan dengan kegiatan itu, ia harus mengumpulkan tugas akhirnya, mengurusi lomba lari maraton, apalagi nanti waktu hari ‘H’nya. Tapi masih untung ada Cakka yang siap siaga untuk membantu Oik kapan saja dibutuhkan. Jabatan Cakka di sekolah sebagai WaKetOs.
            Siang ini Oik di panggil oleh Bu Oky guru Fisikanya. Beliau termasuk salah satu guru killer di sekolahnya. Mau tidak mau Oik pun menemui beliau di ruang guru.
‘tok-tok-tok’
“Silahkan masuk”
Oik membuka pintu perlahan, ia memasukkan kepalanya untuk melihat siapa yang di dalam. Oik mendapati Bu Oky sedang duduk sambil kipas-kipas.
“Siang Bu” sapanya.
“Silahkan duduk Oik!” Bu Oky menunjuk kursi yang ada di depannya. Oik pun berjalan perlahan dengan hati bergumam gak karuan.
“Jadi kamu sudah tahu kan? Saya panggil kamu kesini karna apa?” Tanya Bu Oky to the point.
“Iya bu.” Oik menatap Bu Oky dengan muka memelas. Dalam hati, Oik sendiri sedang mencari-cari alasan dan menyusun kata-kata yang tepat untuk Bu Oky.
“Sampai kapan kamu akan menunda tugas-tugasmu itu? apa sampai tahun depan?”
“Iya bu, saya akan menyelesaikan semua tugas saya secepatnya. Bu Oky kan tahu, saya masih sibuk untuk mengurusi lomba-lomba yang akan di adakan dalam rangka menyambut hari jadi sekolah kita. Oh ya, saya juga masih menyusun acara buat tanggal 7 Juli nanti. Jadi please, kasih saya dispensasi sekali lagi. Saya janji, hari sebelum Pensi tugas sudah selesai.” Oik menjelaskannya panjang lebar, dengan gaya bicaranya itu. Biasanya kalo Oik sudah mengeluarkan senjatanya itu semua guru akan tunduk, tapi kali ini rasanya tidak dengan guru satu ini.
Bu Oky menggerak-gerakkan kipasnya yang super gede itu dengan penuh kesabaran mendengarkan segala penjelasan Oik. “Iya Oik, saya mengerti kegiatan kamu yang super banyak itu. tapi kenapa kamu tidak menyibukkan diri kamu buat menyelesaikan tugas kamu saja? Kamu tahu kan? Semester depan kamu sudah ikut ujian. Jadi lebih baik selesaikan saja tugasmu di semester ini.”
“Baik Bu. Saya akan menyelesaikannya sebelum malam pensi.”
“Saya pegang janji kamu.” Bu Oky pun mengalah juga, daripada terus berdebat dengan muridnya yang satu ini. “Ok, silahkan kamu bisa keluar dari ruangan saya”
“Baik bu. Permisi.” Setelah menutup pintu, Oik berdiri sejenak. Oik menghela nafas lega, “huft, untung saja gue punya alasan.” Oik tersenyum, kemudian berjalan menjauhi ruangan itu.
“Oik”
Oik menoleh ke samping, ternyata Cakka. “Hai Kka, gimana?” tanya Oik.
“Beres.. hhh” Cakka merangkul pundak Oik, “tugas loe belum selesai ya?” tanya Cakka.
“Iya nih. “
“Ya udah, nanti biar gue bantu ngerjainnya” Cakka tersenyum,
“Makasih ya kka J” Oik tersenyum tulus, Cakka meletakkan sebelah tangannya di pinggang sambil menaikkan alisnya. “Ngapain?” tanya Oik bingung.
“Gak romantis banget sih, siniin tanganmu” Cakka mengedik ke arah sikunya.
“Oh bilang dong dari tadi. Dasar Cicak” Oik pun meletakkan tangannya di siku Cakka. Sambil bercanda Cakka dan Oik pun berjalan bersama.


            Di sebuah kamar yang cukup luas, Cakka terlihat masih sibuk dengan sebuah buku di tangannya, sedangkan Oik tiduran di samping Cakka sambil mengutak-atik laptopnya.
“Aduh Kka, makasih banget ya loe mau bantuin ngerjain tugas gue. Loe emang sahabat terbaik gue deh” Oik berhenti dari aktivitasnya semula dan melirik ke arah Cakka di sebelahnya.
Cakka mengetuk-ngetukkan bolpoin di keningnya,melirik ke arah Oik yang masih memandangnya. “Ah loe Ik, biasa aja kali. Ini kan gunanya sahabat.”
“Tapi kan Kka....”
“Sttt..” Cakka meletakkan telunjuknya di bibir Oik, “Loe kok gitu sih? Gue nggak mau ya loe ngucapin terimakasih berkali-kali kayak gitu. Kayak gue siapa loe aja,”Oik hanya diam. “Udah ah lanjutin. Cepetan selesaiin gue udah ngantuk nih”
“Ck, iya-iya.” Oik pun melanjutkan pekerjaannya. Cakka yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala.
‘Sahabat... itulah arti diri gue buat loe. lucu banget sih kalo gue berharap lebih Ik, :D. Aku nggak akan ngebiarin kamu capek sendirian, kita akan sama-sama terus. J
***
            Menjadi Ketua OSIS itu melelahkan juga ternyata. Harus ini lah, itu lah, apalagi kalau mau ada kegiatan seperti ini. Hari ‘h’ hampir mendekati.
            Oik sedang menempel-nempelkan pengumuman di mading dekat lapangan basket. Saat sibuk-sibuknya, tiba-tiba saja seseorang datang mendekatinya.
“Lagi sibuk ya, Ik?” tanya orang itu dengan pakaian basketnya yang penuh keringat.
“Iya nih, Vin.” Oik cuman menoleh ke arah Alvin singkat, lalu kembali dengan pekerjaannya lagi.
“Kok nggak ada yang bantuin? Wakil ketosnya kerjaannya apa aja emang?” Alvin menoleh ke arah seberang dan menatap Oik kembali.
“Cakka lagi ngerjain tugasnya lah. Kan kita udah bagi tugas.” Oik masih tetap cuek.
“Masak sih? Aku nggak percaya kalo dia udah ngerjain tugasnya. Apa emang tugasnya itu cuman ngegodain cewek doang?” Alvin tersenyum sinis sambil melirik ke arah Cakka yang berada di mading seberang dari mereka berdiri sekarang.
Oik mengikuti arah pandang Alvin. Pandangan Oik jatuh tepat pada Cakka yang sekarang masih tertawa bersama seorang gadis yang Oik kenal dia Nadia adek kelasnya juga anggota OSIS.Cakka tidak merasa kalau sejak tadi diperhatikan. Sekarang malah Cakka dan Nadia meninggalkan tempat itu sambil sesekali tertawa.
‘emangnya apa sih yang mereka ceritakan sampe segitunya.’ Dalam hati Oik geram sendiri melihat adegan barusan. ‘eh, tapi ngapain juga gue ngurusin Cakka sama Nadia. Nggak ada kerjaan banget.’ Oik menggeleng-nggelengkan kepalanya membuang jauh-jauh pikiran itu.
“Kamu nggak negur dia. dia nggak ngerjain tugas tapi malah pacaran gitu. Kamu kan KetOs.” Alvin masih saja memanas-manasi Oik.
“emang gue yang kasih tugas itu kok, Cakka sama Nadia kan sama-sama panitia. Jadi mereka kan bisa saling bantu buat nempelin brosur.” Oik menatap Alvin. “Jadi lo tenang aja. Itu urusan gue.” Oik berlalu dari hadapan Alvin yang masih terbengong-bengong sama ucapan Oik tadi.
“Cuek banget sih lo, gue bakal ngedapetin lo. Dan gue juga bakal misahin lo sama Cakka. Gue bakal buat lo menyesal karna telah memilih Cakka daripada gue. Oik, tunggu aja itu bakal terjadi.” Alvin tersenyum sinis.


            Oik membawa beberapa map untuk dikasihkan ke Nadia. Sebenarnya Oik males banget kalau harus berhadapan sama adek kelasnya satu itu. Karena Cakka tadi ada urusan, jadinya Oik deh yang menyerahkan.
Saat Oik sudah sampai di depan kelas X.2 kelas Nadia berada, Oik bimbang mau masuk atau nggak. Namun tak sengaja, Oik mendengar percakapan.
“Aku sebel banget tahu nggak, sama kak Oik. Kasian kak Cakka kan, tiap hari ngurusin urusan yang seharusnya bukan urusannya. Tapi kak Oik itu nggak pernah sadar sama apa yang ia perbuat ke kak Cakka.” Oik menduga ini suara Nadia.
Oik yang mendengar namanya disebut-sebut merasa tersinggung. ‘lagian siapa juga yang mau dibantu. Itu kan Cakkanya sendiri dengan sukarela mau ngebantu gue.’ Batin Oik menimpali ucapan Nadia.
“Terus lo cuman diem aja gitu Nad?” tanya temannya.
“Ya nggaklah,  kemarin gue ngebantuin Kak Cakka juga.”
“Gila ya kak Cakka sampe segitunya mau ngebantuin kak Oik. Baik banget deh,” Ujar teman Nadia lagi.
“gue juga nggak habis pikir Siv, kenapa kak Cakka mau susah gitu buat kak Oik. Kak Oiknya aja jelas-jelas nggak peduli sama tugas-tugasnya, nggak peduli sama Cakka. Nggak tau diri banget tuh kak Oik.”
‘jlebb’
Udah cukup Oik menahannya, airmatanya sudah menggenang. Namun Oik mencoba menahannya, mencoba menahan emosinya agar tidak meluap-luap. Untung saja tidak banyak orang yang ada di situ, karena memang ini masih jam istirahat.
Oik memutuskan untuk mengetuk pintu kelas.
‘tok, tok, tok’
“Permisi, Nadia.” Oik memanggilnya.
Nadia dan teman-temannya kaget melihat Oik ada di depan kelasnya. Padahal barusan dia dan teman-temannya sudah membicarakannya.
“Nad, kak Oik tuh.” Bisik Pricill.
“Iya, gue tahu.” Nadia pun dengan kikuk melangkah keluar menuju ke tempat Oik.
“Ada apa ya kak?” Tanya Nadia, berusaha sewajar mungkin.
Oik tersenyum, “Ini berkas-berkas yang kamu minta dari Cakka. Cakka tadi yang nyuruh aku, nggak tuh dia mau kemana.”
“Oh, makasih kak.”
“Ya udah, Nad. Aku kembali ke kelas dulu.” Setelah pamit Oik berbalik, karna sudah tak sanggup menahan airmatanya lagi, Oik pun berlari. Oik tak menghiraukan orang yang sudah ditabraknya.
“Oik!” panggil Cakka yang tadi juga menjadi korban Oik. Oik memandang Cakka sejenak kemudian kembali berlari.
Cakka yang tidak mengerti hanya mengedikkan bahunya.

Sedangkan Alvin yang sedang latihan basket berhenti saat dia melihat Oik berlari menuju ke atap gedung.
“Guys, gue ada perlu bentar. Kalian lanjutin lagi latihannya.” Alvin segera berlari.


            Oik yang kini sudah berada di atap Gedung sekolahnya menangis, mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya.
“Arrgghh...”
“Kenapa sih semua orang pada nyalahin gue!! Padahal Cakka bantu juga tanpa gue minta. Semua orang lebih sayang sama Cakka daripada aku.”
“Oik.” Panggil seseorang.
Oik segera menghapus airmatanya. Oik menoleh didapatinya Alvin.
“Alvin?”
“Gue kira tadi lo mau kemana. Gue khawatir aja sama lo.”
Oik hanya tersenyum.
“Gue nggak kenapa-kenapa Vin.”
“Oh ya, ni gue bawain lo jus Alpukat.” Alvin menyerahkan jus itu kepada Oik.
Oik mengernyitkan dahi, “Ni buat lo.”
Oik menerimanya sedikit aneh.       “Vin, tapi gue nggak suka Jus Alpukat.”
Alvin melongo. “Lho bukannya dulu lo paling suka ya sama ini jus?”
“Iya Vin, beneran. Gue udah nggak suka.”
“Terus lo sekarang sukanya sama jus apa?”
“Jus Mangga.” Oik nyengir.
“Bukannya jus mangga itu kesukaannya Cakka ya?”
“Iya, emang.dan gue juga suka jus mangga, sebenernya udah dari dulu.”
Alvin kecewa, karena ia tidak mengerti Oik. “Ya udah deh, ntar lo gue beliin.” Alvin mengacak rambut Oik.
'Ini semua gara-gara dulu gue memilih meninggalkan Oik. Karna bokap sama nyokap pindah tugas, otomatis rumah juga pindah. Dan pasti Oik sama Cakka makin lengket waktu itu. Tapi aku akan bayar semua itu, Ik. aku akan ngelakuin apa aja supaya kamu dekat lagi sama aku. Bukan Cakka.'

***

CINTA MARATON Part 1



            Kadang dia bingung sendiri, kenapa dia bisa begitu cepatnya jatuh cinta kepada seseorang yang baru ia kenal dan begitu cepat pula ia patah hati karenanya. Mungkin predikat sebagai cewek playgirl sudah ia dapatkan.
            Kedatangan guru baru yang masih muda, tampan, dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Sejak pertama bertemu dengan guru barunya itu, Oik sudah suka sama dia. Oik mengutarakan isi hatinya itu kepada sahabatnya, Cakka. Malam hari, Di atap salah satu gedung yang ada di Jakarta, yang merupakan tempat favorit mereka. Bukan di mall, danau, taman, atau sejenisnya.
“What? Yang bener aja loe Ik, nggak usah aneh-aneh gitu deh. dia itu guru kita,” Ujar Cakka protes.
“Gue nggak gila, tapi emang itu perasaan gue. Pokoknya bagaimanapun caranya aku harus dapetin Pak Riko. Loe bantuin gue ya Kka? Please.” Oik menyatukan tangannya di depan dada dengan muka memohon.
Cakka menimbang-nimbang permintaan sahabatnya itu. “Ayolah kka, mau ya”
“Nggak! Mending loe cari mangsa lain aja deh!” Cakka menatap Oik,
“Nggak Kka. Aku nggak bisa. Ayolah Kka, Cakka baik deh. ih ganteng banget sih kalo lagi manyun.” Oik menyenggol-nyenggol lengan Cakka manja sambil terus menggodanya.
“Apaan sih loe. Gue bilang nggak ya nggak!” bentak Cakka.
“Ya udah sih, kalo nggak mau. Nggak pake ngebentak juga. dengan atau gak adanya loe, gue bakal tetep nembak Pak Riko. ‘titik’!” Oik membalas dengan nada ngebentak juga, dan tatapan mau mengajak perang.
            Oik meninggalkan Cakka yang masih berdiam di atas gedung itu. padahal tadi mereka berangkat bersama kenapa kok jadinya pisah gini. Tiba-tiba saja Cakka tersadar dari pikirannya, Oik sudah berjalan menjauhinya.
“Ik tunggu!” teriak Cakka sambil mengejarnya,


            Keesokan harinya Oik membuktikan kata-katanya semalam dengan Cakka. Oik masih tetep mau nembak Pak Riko. Apapun resikonya, Oik pikir Pak Riko juga akan menerimanya. Orangtua Oik yang mempunyai sekolah itu, semua cowok pada tunduk sama kecantikannya. Cakka tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan gadis itu. Sudah sejak kecil Cakka dan Oik bersama, rumahnya cuman bersebelahan, kedua orangtua mereka sahabat. Tapi Cakka masih saja memberikan nasihat-nasihatnya ke Oik, agar gadis itu mengurungkan niatnya.
            Pulang sekolah Oik mengajak Cakka pergi ke mall untuk membeli baju baru, buat nanti malam bertemu dengan Pak Riko.
“Ik, seriusan loe mau ngajak Pak Riko kencan malam ini?” tanya Cakka masih belum yakin, ia terus mengikuti gadis itu melangkah.
Oik berhenti mendadak yang membuat Cakka menabrak dirinya, “Iyalah, loe itu mau ngebantuin gue nggak sih sebenernya? Gue juga bisa sendiri kok, kalo loe emang nggak mau.” Oik berbalik dan melanjutkan berjalan.
“Iya-iya.” Cakka pun pasrah.
1 jam kemudian
            Cakka mengikuti Oik sambil terus mengeluh, tapi Oik mengabaikannya. Kini di kedua tangan Cakka sudah memegang kantong-kantong plastik dari berbagai merk, yang pasti isinya baju, sepatu, dan sebangsanya.
“Kka, liat deh. Ini baju cantik banget. Warnanya hitam, ih so sweet. Pasti Pak Riko pake kemeja hitam.” Oik memegang gaun berwarna hitam itu sambil membayangkan nanti malam.
Cakka hanya melongo melihat Oik yang tersenyum-senyum gitu, “Loe mau beli lagi?” tanya Cakka tak percaya.
“Ayolah Kka, ini keren banget. Pake uang gue juga kan?”
“Nggak. Loe jangan boros deh! kalo loe mau beli itu, jadi dari tadi sejam kita muter-muter nggak jelas, dengan berbagai kantong palstik ini mau ngapain? Loe nggak mungkin pake semua baju ini untuk nanti malam kan?” Ujar Cakka panjang lebar.
Senyum Oik pudar, pandangannya beralih dari gaun di depannya itu ke arah Cakka. “nggaklah emangnya gue badut apa? Please, sekali ini saja. Aku janji deh nggak bakal boros lagi.” Melihat tampang melas Oik, Cakka hanya bisa menghela napas berat.
Oik pergi untuk membayarnya. Cakka diam mematung, melihat ke arah dirinya di depan cermin. Dengan dandanan yang kusut, seragam SMA yang masih melekat ditubuhnya yang belum mandi dari pulang sekolah. Tampang kucel. Kedua tangan penuh belanjaan.
‘Susah juga ya jadi cowok. Harus kerja keras nyari uang, sedangkan sang istri cuman bisa menghamburkan uang. Harus pintar-pintar cari uang nih buat melamar Oik.’ Cakka senyum-senyum sendiri di depan cermin.
Seseorang menepuk pundaknya. “Nih belanjaannya.” Oik mengulurkan kantong berisi gaun itu ke arah Cakka. Namun tak ada jawaban, Oik melihat ke arah cermin di depannya. Melihat Cakka yang senyum-senyum sendiri gitu ia bergidik ngeri, “Cakka! Ngapain sih loe senyum-senyum gaje gitu. Bikin ngeri deh”
“Eh, anu, nggak kok. Gak apa-apa. Udah ya belanjanya?” Cakka menerima belanjaan Oik.
            Karena sudah terlalu sore, Cakka dan Oik pun memutuskan untuk segera pulang. Tanpa mampir makan terlebih dahulu.


            Malam harinya. Oik sedang mematut diri di depan cermin. Ia memakai gaun hitam selutut tanpa lengan.
‘Bib-biiibbbbbbb’ suara klakson  motor Cakka sudah menggema di halaman rumahnya. Setelah memastikan penampilannya sekali lagi, Oik segera meraih tas kecilnya, dan cepat-cepat turun menghampiri Cakka.
Sesampainya di depan. Oik mengagetkan Cakka yang masih mengelus-ngelus jambul rambutnya di depan kaca spion motor Cagiva merahnya.
“Dorrr!”
“Eh,” Cakka kaget, namun ia malah memperhatikan kaca spion. Seperti tidak percaya dengan penampilan gadis itu malam ini.
“Cakka, ayo dong!”
Cakka menoleh menatap Oik, “ini beneran loe Ik?”tanyanya masih tak percaya.
“Iyalah ini gue. Emang kuntilanak apa? Cepetan ayo berangkat ntar keburu telat!” Oik naik ke tempat boncengan tanpa disuruh Cakka. Cakka pun melajukan motornya.

            Oik masih saja diam di depan sebuah resto cepat saji. Cakka jadi bingung sendiri dengan cewek disampingnya.
“Nunggu apa lagi sih? Cepetan masuk!” Suruh Cakka.
“Tapi Kka,”
“Udah yuk masuk!” Cakka menggeret tangan Oik. Namun Oik cepat-cepat melepaskannya.
“Siapa yang suruh kamu juga ikutan masuk?” tanya Oik,
“Sebagai sahabat gue harus dong ikutan masuk. Laper nih perut gue” Cakka memelas,
“Nggak. Loe tetep disini! Mending loe nunggu di luar aja sana.” Oik mendorong-dorong Cakka keluar.
“Iya-iya.” Dengan muka cemberut, Cakka melangkahkan kakinya keluar dari resto  itu.
            Oik berjalan dengan anggunnya ke arah meja no. 12. Pak Riko sudah menunggunya di sana. Sambil sesekal melihat ke arah jam tangannya.
“Maaf pak, sudah menunggu lama ya?” tanya Oik.
“Oh ternyata kamu yang mau ketemu saya? Cepetan ngomong sekarang, saya masih banyak perlu” Ujar Pak Riko meremehkan.
“Iya pak.” Oik memegang tengkuknya, “saya cuman mau bilang. Kalo saya Cinta sama Pak Riko. Jadi Pak Riko mau nggak terima saya sebagai kekasih bapak?” Oik mengatakannya tanpa kesalahan sedikitpun.
“Maaf, saya tidak bisa. Saya itu guru kamu dan kamu murid saya. Saya tidak ada perasaan lebih ke kamu.”
“Tapi Rik, ini kan di luar jam sekolah. Jadi kita tidak bisa menyangkut pautkan dengan masalah sekolah” Oik mengelak.
“Cukup. Saya itu guru kamu, kamu tidak sepatutnya memanggil saya hanya dengan nama. Pake Pak!” kata Riko tegas. Ia melihat jam lagi, “Ok. Mungkin itu saja yang mau kamu omongkan? Saya harus pergi sekarang. Lupakan malam ini!” suruhnya tajam.
Oik hanya menunduk, tak terasa airmatanya mulai menetes. ‘kenapa sih? Riko nggak mau terima gue, apa karna statusnya sebagai guru dan aku muridnya?’ oik merutukinya dalam-dalam. Oik segera meraih tas tangannya dan pergi meninggalkan Riko yang masih diam di tempatnya, dengan airmata Oik yang terus bercucuran. Sepertinya malam ini ia akan menyendiri lagi.

Cakka yang masih duduk di tempatnya melihat Oik keluar sendirian. Dengan airmata.
‘Apa? Airmata?’ Cakka heboh sendiri. Cakka segera menghampiri Oik,
“Kenapa loe nangis?” tanya Cakka.
“hiks..hiks..Gue.. hiks.. ditolak..hiks.. sama.. dia.. huhuhu” Kata Oik terbata. Tangisnya pecah.
“Udah gue bilang kan? Loe sama Pak Riko itu nggak bakal bisa bersatu, Pak Riko cuman anggap kamu muridnya.”
“Huaaaaaa........ Cakkka... loe amat sih sama gue” tangis Oik semakin kencang.
“lagian sih loe ada-ada aja! Ngapain juga harus Pak Riko.” Cakka malah membalas Oik,
“Caaakkkkkkaaaaaaa” Oik menatap Cakka tajam dengan airmata yang terus turun dari kedua matanya.
“Eh ngapain loe teriak-teriak” Cakka kelabakan sendiri. Berabe kan kalo orang ngira dia ngapa-ngapain Oik sampe nangis.
            Oik mengacuhkan Cakka. Oik malah berjalan ke atap gedung resto itu. Melihat kendaraan yang kecil-kecil karena dilihat dari situ. Hanya suara kendaraan, dan ditemani terangnya bintang malam itu. Cakka mengikutinya.
            Oik masih saja sesenggukan. Cakka tak tega melihatnya, hatinya merasa sakit saat melihat airmata itu turun. Cakka merengkuh tubuh Oik. Mencoba menenangkan gadis itu. Oik bersandar di dada Cakka, kehangatan menjalari sekujur tubuhnya. Kehangatan yang menenangkan, Oik mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali ia mendapatkan kehangatan itu. sekitar 8 tahun yang lalu, kini ia mendapatkan kehangatan itu lagi dalam dekapan Cakka. Tiba-tiba saja Oik rindu dengan bundanya. Bunda telah meninggalkan Oik dan ayah di dunia ini.
            Cakka merasa Oik sudah tidak menangis lagi. Cowok itu melapaskan rengkuhannya. Oik mendongakkan kepala bingung. Angin berhembus sedikit kencang. Cakka melepaskan jaketnya, memakaikannya ke tubuh Oik.
“Makasih” ucap Oik.
“Setelah ini loe mau sama siapa lagi?” tanya Cakka dengan nada tenang,
“Nggak tahu.” Jawab Oik lemah,
“Gimana kalo sama gue aja?” tanya Cakka sambil menaik-turunkan alisnya dengan seringaian khasnya.
Oik menoleh ke arah Cakka, “Ogah! Loe udah basi! Nggak usah mulai deh Kka.” Oik mengalihkan pandangannya dari cowok itu. pandangannya menerawang jauh, Cakka jadi ikut-ikutan mengingat waktu itu.
-Flashback on-
“Ayo dong temenin Oik main boneka”
“Ayo,” ujar anak cowok kecil sekitar berumur 7 tahun sepertinya.
“Kamu jadi ayahnya ya Kka, aku Ibunya, dan teddy anaknya.” Ujar Oik semangat.
“Iya.” Saat mereka sedang asyik bermain, tiba-tiba saja datang seorang anak kecil cowok satu lagi.
“Cakka, kamu kayak cewek. Mainnya kok boneka? Lihat nih, mobil-mobilan punyaku.” Ujar anak itu.
“Alvin, kamu kok gitu sih?” Oik memprotes.
“Udah ya Ik, biarin aja. Vin, kayaknya aku masih kepingin main rumah-rumah kok. Iya nggak ik?”
“Makasih ya Kka. Kamu baik deh. Kamu mau nggak jadi pacarku?” tanya Oik polos.
“Kita masih kecil Ik” ujar Cakka.
“Cakka gitu” Oik membanting teddynya pergi meninggalkan Cakka dan Alvin yang masih terbengong.
-Flasback end-
“hahahahhaha.....” Cakka masih saja tertawa terpingkal-pingkal. Sedangkan Oik cemberut, ada rona merah di kedua pipinya.
“Ih apaan sih Loe! Ngapain sih kejadian itu masih loe inget” Oik bersedakep di depan dadanya.
“Habis, loe lucu banget sih waktu itu” Cakka mulai mengurai tertawanya. Kini ia mulai serius. “Gimana? Loe mau kan?” tanya Cakka.
“Nggak mau.”
Cakka berpindah tempat menjadi di depan Oik.“Loe bisa kan nembak gue lagi? Apa susahnya sih?” tanya+suruh Cakka.
“Gue bilang nggak- ya enggak Cakka” Oik mendelik. “Becanda lo nggak lucu.”
“Tapi Ik..” Cakka masih memandangi punggung Oik yang terus menjauhinya.
‘Gue nggak pernah becanda Ik sama ucapan gue. Gue suka sama loe’
-tit-tit-tit- nada dering hp Cakka berbunyi.
“Hal..” belum sempat Cakka menyapa, orang di seberang sudah teriak-teriak.
“Mau pulang nggak? Cepetan, gue udah di mobil loe!.” suruh Oik memutuskan sambungan.
            Setelah memasukkan Hpnya ke saku celana, Cakka cuman bisa senyum-senyum sendiri. Tanpa menunggu waktu lagi untuk berfikir, Cakka pun segera mengejar Oik.
***     
            Semakin hari, semua siswa SMU CAHAYA semakin disibukkan dengan perayaan penyambutan hari jadi sekolah. Terutama bagi para OSIS. Oik sendiri sebagai Ketua OSIS SMU CAHAYA jadi kelimpungan dengan kegiatan itu, ia harus mengumpulkan tugas akhirnya, mengurusi lomba lari maraton, apalagi nanti waktu hari ‘H’nya. Tapi masih untung ada Cakka yang siap siaga untuk membantu Oik kapan saja dibutuhkan. Jabatan Cakka di sekolah sebagai WaKetOs.
            Siang ini Oik di panggil oleh Bu Oky guru Fisikanya. Beliau termasuk salah satu guru killer di sekolahnya. Mau tidak mau Oik pun menemui beliau di ruang guru.
‘tok-tok-tok’
“Silahkan masuk”
Oik membuka pintu perlahan, ia memasukkan kepalanya untuk melihat siapa yang di dalam. Oik mendapati Bu Oky sedang duduk sambil kipas-kipas.
“Siang Bu” sapanya.
“Silahkan duduk Oik!” Bu Oky menunjuk kursi yang ada di depannya. Oik pun berjalan perlahan dengan hati bergumam gak karuan.
“Jadi kamu sudah tahu kan? Saya panggil kamu kesini karna apa?” Tanya Bu Oky to the point.
“Iya bu.” Oik menatap Bu Oky dengan muka memelas. Dalam hati, Oik sendiri sedang mencari-cari alasan dan menyusun kata-kata yang tepat untuk Bu Oky.
“Sampai kapan kamu akan menunda tugas-tugasmu itu? apa sampai tahun depan?”
“Iya bu, saya akan menyelesaikan semua tugas saya secepatnya. Bu Oky kan tahu, saya masih sibuk untuk mengurusi lomba-lomba yang akan di adakan dalam rangka menyambut hari jadi sekolah kita. Oh ya, saya juga masih menyusun acara buat tanggal 7 Juli nanti. Jadi please, kasih saya dispensasi sekali lagi. Saya janji, hari sebelum Pensi tugas sudah selesai.” Oik menjelaskannya panjang lebar, dengan gaya bicaranya itu. Biasanya kalo Oik sudah mengeluarkan senjatanya itu semua guru akan tunduk, tapi kali ini rasanya tidak dengan guru satu ini.
Bu Oky menggerak-gerakkan kipasnya yang super gede itu dengan penuh kesabaran mendengarkan segala penjelasan Oik. “Iya Oik, saya mengerti kegiatan kamu yang super banyak itu. tapi kenapa kamu tidak menyibukkan diri kamu buat menyelesaikan tugas kamu saja? Kamu tahu kan? Semester depan kamu sudah ikut ujian. Jadi lebih baik selesaikan saja tugasmu di semester ini.”
“Baik Bu. Saya akan menyelesaikannya sebelum malam pensi.”
“Saya pegang janji kamu.” Bu Oky pun mengalah juga, daripada terus berdebat dengan muridnya yang satu ini. “Ok, silahkan kamu bisa keluar dari ruangan saya”
“Baik bu. Permisi.” Setelah menutup pintu, Oik berdiri sejenak. Oik menghela nafas lega, “huft, untung saja gue punya alasan.” Oik tersenyum, kemudian berjalan menjauhi ruangan itu.
“Oik”
Oik menoleh ke samping, ternyata Cakka. “Hai Kka, gimana?” tanya Oik.
“Beres.. hhh” Cakka merangkul pundak Oik, “tugas loe belum selesai ya?” tanya Cakka.
“Iya nih. “
“Ya udah, nanti biar gue bantu ngerjainnya” Cakka tersenyum,
“Makasih ya kka J” Oik tersenyum tulus, Cakka meletakkan sebelah tangannya di pinggang sambil menaikkan alisnya. “Ngapain?” tanya Oik bingung.
“Gak romantis banget sih, siniin tanganmu” Cakka mengedik ke arah sikunya.
“Oh bilang dong dari tadi. Dasar Cicak” Oik pun meletakkan tangannya di siku Cakka. Sambil bercanda Cakka dan Oik pun berjalan bersama.


            Di sebuah kamar yang cukup luas, Cakka terlihat masih sibuk dengan sebuah buku di tangannya, sedangkan Oik tiduran di samping Cakka sambil mengutak-atik laptopnya.
“Aduh Kka, makasih banget ya loe mau bantuin ngerjain tugas gue. Loe emang sahabat terbaik gue deh” Oik berhenti dari aktivitasnya semula dan melirik ke arah Cakka di sebelahnya.
Cakka mengetuk-ngetukkan bolpoin di keningnya,melirik ke arah Oik yang masih memandangnya. “Ah loe Ik, biasa aja kali. Ini kan gunanya sahabat.”
“Tapi kan Kka....”
“Sttt..” Cakka meletakkan telunjuknya di bibir Oik, “Loe kok gitu sih? Gue nggak mau ya loe ngucapin terimakasih berkali-kali kayak gitu. Kayak gue siapa loe aja,”Oik hanya diam. “Udah ah lanjutin. Cepetan selesaiin gue udah ngantuk nih”
“Ck, iya-iya.” Oik pun melanjutkan pekerjaannya. Cakka yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala.
‘Sahabat... itulah arti diri gue buat loe. lucu banget sih kalo gue berharap lebih Ik, :D. Aku nggak akan ngebiarin kamu capek sendirian, kita akan sama-sama terus. J
***
            Menjadi Ketua OSIS itu melelahkan juga ternyata. Harus ini lah, itu lah, apalagi kalau mau ada kegiatan seperti ini. Hari ‘h’ hampir mendekati.
            Oik sedang menempel-nempelkan pengumuman di mading dekat lapangan basket. Saat sibuk-sibuknya, tiba-tiba saja seseorang datang mendekatinya.
“Lagi sibuk ya, Ik?” tanya orang itu dengan pakaian basketnya yang penuh keringat.
“Iya nih, Vin.” Oik cuman menoleh ke arah Alvin singkat, lalu kembali dengan pekerjaannya lagi.
“Kok nggak ada yang bantuin? Wakil ketosnya kerjaannya apa aja emang?” Alvin menoleh ke arah seberang dan menatap Oik kembali.
“Cakka lagi ngerjain tugasnya lah. Kan kita udah bagi tugas.” Oik masih tetap cuek.
“Masak sih? Aku nggak percaya kalo dia udah ngerjain tugasnya. Apa emang tugasnya itu cuman ngegodain cewek doang?” Alvin tersenyum sinis sambil melirik ke arah Cakka yang berada di mading seberang dari mereka berdiri sekarang.
Oik mengikuti arah pandang Alvin. Pandangan Oik jatuh tepat pada Cakka yang sekarang masih tertawa bersama seorang gadis yang Oik kenal dia Nadia adek kelasnya juga anggota OSIS.Cakka tidak merasa kalau sejak tadi diperhatikan. Sekarang malah Cakka dan Nadia meninggalkan tempat itu sambil sesekali tertawa.
‘emangnya apa sih yang mereka ceritakan sampe segitunya.’ Dalam hati Oik geram sendiri melihat adegan barusan. ‘eh, tapi ngapain juga gue ngurusin Cakka sama Nadia. Nggak ada kerjaan banget.’ Oik menggeleng-nggelengkan kepalanya membuang jauh-jauh pikiran itu.
“Kamu nggak negur dia. dia nggak ngerjain tugas tapi malah pacaran gitu. Kamu kan KetOs.” Alvin masih saja memanas-manasi Oik.
“emang gue yang kasih tugas itu kok, Cakka sama Nadia kan sama-sama panitia. Jadi mereka kan bisa saling bantu buat nempelin brosur.” Oik menatap Alvin. “Jadi lo tenang aja. Itu urusan gue.” Oik berlalu dari hadapan Alvin yang masih terbengong-bengong sama ucapan Oik tadi.
“Cuek banget sih lo, gue bakal ngedapetin lo. Dan gue juga bakal misahin lo sama Cakka. Gue bakal buat lo menyesal karna telah memilih Cakka daripada gue. Oik, tunggu aja itu bakal terjadi.” Alvin tersenyum sinis.


            Oik membawa beberapa map untuk dikasihkan ke Nadia. Sebenarnya Oik males banget kalau harus berhadapan sama adek kelasnya satu itu. Karena Cakka tadi ada urusan, jadinya Oik deh yang menyerahkan.
Saat Oik sudah sampai di depan kelas X.2 kelas Nadia berada, Oik bimbang mau masuk atau nggak. Namun tak sengaja, Oik mendengar percakapan.
“Aku sebel banget tahu nggak, sama kak Oik. Kasian kak Cakka kan, tiap hari ngurusin urusan yang seharusnya bukan urusannya. Tapi kak Oik itu nggak pernah sadar sama apa yang ia perbuat ke kak Cakka.” Oik menduga ini suara Nadia.
Oik yang mendengar namanya disebut-sebut merasa tersinggung. ‘lagian siapa juga yang mau dibantu. Itu kan Cakkanya sendiri dengan sukarela mau ngebantu gue.’ Batin Oik menimpali ucapan Nadia.
“Terus lo cuman diem aja gitu Nad?” tanya temannya.
“Ya nggaklah,  kemarin gue ngebantuin Kak Cakka juga.”
“Gila ya kak Cakka sampe segitunya mau ngebantuin kak Oik. Baik banget deh,” Ujar teman Nadia lagi.
“gue juga nggak habis pikir Siv, kenapa kak Cakka mau susah gitu buat kak Oik. Kak Oiknya aja jelas-jelas nggak peduli sama tugas-tugasnya, nggak peduli sama Cakka. Nggak tau diri banget tuh kak Oik.”
‘jlebb’
Udah cukup Oik menahannya, airmatanya sudah menggenang. Namun Oik mencoba menahannya, mencoba menahan emosinya agar tidak meluap-luap. Untung saja tidak banyak orang yang ada di situ, karena memang ini masih jam istirahat.
Oik memutuskan untuk mengetuk pintu kelas.
‘tok, tok, tok’
“Permisi, Nadia.” Oik memanggilnya.
Nadia dan teman-temannya kaget melihat Oik ada di depan kelasnya. Padahal barusan dia dan teman-temannya sudah membicarakannya.
“Nad, kak Oik tuh.” Bisik Pricill.
“Iya, gue tahu.” Nadia pun dengan kikuk melangkah keluar menuju ke tempat Oik.
“Ada apa ya kak?” Tanya Nadia, berusaha sewajar mungkin.
Oik tersenyum, “Ini berkas-berkas yang kamu minta dari Cakka. Cakka tadi yang nyuruh aku, nggak tuh dia mau kemana.”
“Oh, makasih kak.”
“Ya udah, Nad. Aku kembali ke kelas dulu.” Setelah pamit Oik berbalik, karna sudah tak sanggup menahan airmatanya lagi, Oik pun berlari. Oik tak menghiraukan orang yang sudah ditabraknya.
“Oik!” panggil Cakka yang tadi juga menjadi korban Oik. Oik memandang Cakka sejenak kemudian kembali berlari.
Cakka yang tidak mengerti hanya mengedikkan bahunya.

Sedangkan Alvin yang sedang latihan basket berhenti saat dia melihat Oik berlari menuju ke atap gedung.
“Guys, gue ada perlu bentar. Kalian lanjutin lagi latihannya.” Alvin segera berlari.


            Oik yang kini sudah berada di atap Gedung sekolahnya menangis, mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya.
“Arrgghh...”
“Kenapa sih semua orang pada nyalahin gue!! Padahal Cakka bantu juga tanpa gue minta. Semua orang lebih sayang sama Cakka daripada aku.”
“Oik.” Panggil seseorang.
Oik segera menghapus airmatanya. Oik menoleh didapatinya Alvin.
“Alvin?”
“Gue kira tadi lo mau kemana. Gue khawatir aja sama lo.”
Oik hanya tersenyum.
“Gue nggak kenapa-kenapa Vin.”
“Oh ya, ni gue bawain lo jus Alpukat.” Alvin menyerahkan jus itu kepada Oik.
Oik mengernyitkan dahi, “Ni buat lo.”
Oik menerimanya sedikit aneh.       “Vin, tapi gue nggak suka Jus Alpukat.”
Alvin melongo. “Lho bukannya dulu lo paling suka ya sama ini jus?”
“Iya Vin, beneran. Gue udah nggak suka.”
“Terus lo sekarang sukanya sama jus apa?”
“Jus Mangga.” Oik nyengir.
“Bukannya jus mangga itu kesukaannya Cakka ya?”
“Iya, emang.dan gue juga suka jus mangga, sebenernya udah dari dulu.”
Alvin kecewa, karena ia tidak mengerti Oik. “Ya udah deh, ntar lo gue beliin.” Alvin mengacak rambut Oik.
'Ini semua gara-gara dulu gue memilih meninggalkan Oik. Karna bokap sama nyokap pindah tugas, otomatis rumah juga pindah. Dan pasti Oik sama Cakka makin lengket waktu itu. Tapi aku akan bayar semua itu, Ik. aku akan ngelakuin apa aja supaya kamu dekat lagi sama aku. Bukan Cakka.'

***

Template by:
Free Blog Templates