Pulang
sekolah Oik langsung menuju ke ruang OSIS. Saat Oik datang semua anggota OSIS
dan panitia juga sudah kumpul.
“Maaf
ya telat.” Ujar Oik.
“Karena
Oik sudah datang, rapat kita mulai dari sekarang aja.”
Cakka
membuka rapat siang ini.
“Menurut
kamu, gimana? Kalo kita adain lomba olah raga juga. daripada cuman seni.” tanya
Cakka ke Oik.
“Bagus.
Lomba maraton cukup menarik kayaknya.”
“Lari
maraton?” Cakka cukup kaget saat mendengar lomba lari.
“Iya.
Kenapa? Kamu takut nggak kuat.”
Cakka
menatap Oik tak percaya. Pasalnya Cakka itu dari kecil nggak bisa lari cepat.
Tengsin dong sama Oik.
“hahaha..
nggak, siapa juga yang takut. Oke,”
“Gimana
teman-teman? Setuju nggak?” Tanya Cakka.
“Setuju.”
“Baik,
Cakka gue percaya sama lo ya. Maaf, gue mau pamit pulang dulu.”
Lagi-lagi
Cakka yang harus menutup rapat. Yang jadi Ketua OSIS sebenarnya siapa sih? Oik
apa Cakka? Kenapa Cakka yang ribet sendiri. Dan anak-anak cewek yang ada di
situ saling berbisik mengantar kepergian Oik. Namun Cakka tak ambil pusing.
“kak
Cakka!” panggil seorang cewek, saat Cakka sedang membereskan ruang OSIS.
“Eh,
Nadia. Ada apa?” tanyanya bingung.
“Nggak
kok, mau aku bantuin?” tanya Nadia.
“boleh.”
Cakka tersenyum ramah.
“Kak
Cakka, kakak pacarnya kak Oik ya?”
“hah?
Oik? Bukan kok. Emangnya kenapa?”
“nggak
apa-apa sih. Tapi kok kakak sama kak Oik akrab banget. Sampe kakak mau bantuin
kak Oik segitunya, kemana-mana juga bareng.”
“Gue
sama Oik udah temenan dari kecil. Jadi wajar dong gue sama dia deket.” Cakka
mengacak rambut Nadia.
Nadia
yang digituin tersipu malu. ‘kak Cakka baik banget sih.’
Nadia
dan Cakka saling bertukar cerita selama mereka membersihkan ruang OSIS.
***
Di
lain tempat.
“Rumah
lo masih yang dulu kan, Ik?” tanya Alvin saat Oik sudah masuk ke dalam
mobilnya.
“Iya,
Vin. Sampai aku bosen sendiri, tetanggaan sama Cakka lagi.” Oik tertawa tiap
kali dia menceritakan tentang dia dan cakka. Merasa geli aja. “Tapi untungnya
ada Cakka, jadi gue nggak kesepian deh di rumah.”
“Oh.
Jadi kalian berdua masih tetanggaan?”
“Iya
dong. Sayang banget dulu lo pindah.” Oik menoleh ke Alvin sambil tersenyum
nakal.
‘yes,
Oik masih ngeharapin aku.’
“Ya
udah kita jalan sekarang nih? Mau langsung balik atau jalan-jalan dulu?” tanya
Alvin.
“Balik
aja deh, capek banget Vin.”
“Siap
tuan putri.” Alvin pun melajukan mobilnya menuju ke kediaman Oik.
Selama
di perjalanan Alvin dan Oik tak henti-hentinya bercerita tentang masa kecil
mereka sambil sesekali mereka tertawa kalau mengingat hal-hal lucu yang dulu
mereka lakuin. Walaupun dari kecil Oik lebih sering bermain boneka-bonekaan
sama Cakka daripada main mobil-mobilan bareng Alvin.
“Oik,
ini ya rumah lo?” tanya Alvin setelah mereka sampai di rumah Oik.
“Iya,
Vin. Makasih ya udah di anterin. Lo mau masuk dulu apa langsung pulang?” Tanya
Oik menawarkan.
“Mainnya
lain kali aja ya, gue udah ditunggu mama nih.”
“Iya
deh. sekali lagi makasih ya.” Oik keluar dari mobil Alvin dan menutupnya.
Setelah
mobil Alvin pergi, Oik segera membuka gerbangnya dengan perasaan lebih bahagia.
Namun gerakannya dihentikan oleh sebuah suara.
“Ekhem...
Seneng banget deh kayaknya.”
Oik
membalikkan tubuhnya dan tersenyum lebar. “eh Cakka. Iya dong seneng. Lo tau
nggak...”
“nggak.”
Jawab Cakka singkat.
“yee..
gue belum selesai kali ngomongnya.” Oik cemberut tapi ekspresinya langsung berubah
senang kembali. “Coba deh tebak. Tadi aku pulang sama siapa.” Oik menatap Cakka
dengan misterius.
“Cowok
baru lo? Gebetan baru yang tadi ngajakin kencan? Tunangan lo yang baru pulang
dari Amrik..”
“Ih
bukan, Cakka. Masak nggak tau sih. Barusan aku dianterin pulang sama Alvin.”
“Alvin?
Alvin siapa?”
“Alvin
cowok basket sekolah. Dan lo tau apa? Ternyata dia itu teman kita waktu kecil.
Aaaaaa...” Oik menjerit histeris. Namun Cakka hanya cengok menatapnya.
“Oh”
“kok
cuman ‘oh’ doang sih?” Oik cemberut.
“Iya
deh Oik. Turut senang gue.” Cakka tersenyum sinis.
‘Ngapain
tuh anak balik lagi sih? Tapi Oik, apa Alvin bakalan jadi cowok dia
selanjutnya? Giliran gue kapan dong?’
“Cakka.
Lo denger gue ngomong nggak sih?” Oik mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka
Cakka.
“Denger
kok.”
“Ya
udah, nunggu apa lagi? sono balik! Gue mau tidur.” Oik mengusir Cakka dengan
mendorong tubuh Cakka menuju rumahnya.
“Siang
ini lo nggak usah tidur deh. mending kita main aja.”
“nggak
Cakka. Gue capek.”
“Ik...”
Oik
cuman memelototi Cakka tajam, yang membuat Cakka mau tidak mau masuk ke
rumahnya.
***
Istirahat pertama Oik menghabiskan
waktunya di ruang OSIS. Waktu Oik masuk di dalam ada Cakka dan Nadia sedang
tertawa-tawa di depan komputer.
“Ekhem..”
Oik berdehem yang membuat Cakka dan Nadia menoleh, namun Cakka masih
menyunggingkan senyum lebarnya.
“Eh
ada Oik. Udah lama?” Tanya Cakka.
“Nggak
barusan.” Jawab Oik cuek. Oik enghampiri komputer yang ada di mejanya.
“Kayaknya kalian asyik banget, sampai ketawa segitunya.”
“Iya
nih, kak. Tadi kak Cakka cerita lucu banget.” Sambut Nadia dengan senang.
“Ik,
Nad. Gue ke toilet dulu ya kebelet nih. Ntar sekalian gue beliin minum deh.”
Cakka cepat-cepat keluar.
Setelah Cakka keluar dari ruang
OSIS. Suasana menjadi hening seketika. Tidak ada suara tawa lagi. Oik maupun
Nadia sama-sama diam.
“Kak
Oik, aku mau ngomong sama kakak.” Suara Nadia memecahkan keheningan.
“Ya
udah ngomong aja.” Jawab Oik tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari
komputer.
“Maaf
kalau aku nggak sopan. Tapi aku cuman mau bilang, apa kakak nggak kasihan apa
sama kak Cakka? Kak Oik tuh sebenernya nganggap kak Cakka teman atau pembantu
sih?”
“Maksud
lo apa?” tanya Oik belum ngeh.
“Tadi
aku ngomong udah jelas kan kak?”
“Nggak
ada urusannya sama lo juga kan?” kata Oik cuek. “Lagian Cakka-nya sendiri yang
mau gitu. Gue nggak nyuruh dia ya.”
“Oh,
gue paham. Lo tenang aja Nadia, gue sama Cakka itu cuman teman. Nggak lebih!
Jadi lo nggak usah khawatir kalau gue bakal rebut Cakka dari lo. Lo suka kan
sama dia?” Oik memutar matanya malas.
“Beneran
kak Oik cuman temannya Kak Cakka doang?”
“Iya
lah. Gue sama dia udah dari lahir temenan. Kalau lo suka ya ambil aja dia.”
Mendengar
jawaban Oik, Nadia bisa tersenyum lega.
_
_
_
“Pak
Somat, jus mangga 2!” Ujar seseorang.
“Iya,
Mas Cakka.” Ujar Pak Somat sambil tersenyum.
Cakka
menoleh ke samping. Didapatinya Alvin sedang berdiri cuek, namun ia pun menoleh
ke arah Cakka.
“Akhirnya
gue bisa ketemu lo lagi.” Ujar Alvin tersenyum sinis. “Udah bisa lari cepat
belum?”
Cakka yang digituin merasa harga
dirinya terinjak, namun Cakka masih tetap tenang. Ia malas kalau udah urusan
kayak gini, dari dulu Alvin yang bakalan menang.
“Ya
udahlah.” Cakka membanggakan dirinya, walaupun tadi itu jawaban asal ceplos
doang.
“Oh
bagus dong kalau gitu. Tadinya gue emang berniat ngajakin lo balap lari, tapi
gue takut lo kalah. Tapi karna sekarang lo udah kuat, mau nggak ntar kita adu
di turnamen lari maraton satu sekolah kita. Tenang aja, ini hadiahnya kok.”
“Hadiah
apa’an. Gue mau-mau aja tanding sama lo,” Tantang Cakka dengan suara khasnya
yang selengek’an. “kecil itu.”
“Mas
Cakka, ini jus-nya.” Suara pak Somat menghentikan pembicaraan Cakka dan Alvin.
“Makasih
Pak. Ini uangnya.” Cakka mengangsurkan uangnya.
Cakka
tersenyum ramah ke Pak Somat, sambil meraih jus mangganya.
“Itu
jus buat Oik ya?” Tanya Alvin.
“Iya.”
“Kayaknya
lo perhatian banget sama dia. kalian pacaran?”
“Iyalah
gue perhatian. Orang gue temennya. Kita nggak pacaran.”
“Tapi
lo suka kan? Secara dia itu temen masa kecil lo. Kalian bareng terus gitu.”
“mana
ada cowok yang nggak suka sama cewek secantik Oik.” Ujar Cakka dengan jawaban
ambigunya.
“Gimana
kalau hadiahnya Oik. Siapa yang bisa ngelewatin garis finish duluan itu
pemenangnya. Dan boleh ngedapetin Oik. Tapi yang kalah, dia harus rela ngelepas
Oik dan nggak boleh berhubungan sama dia.”
“Ya
nggak bisa gitu dong! Eh, asal lo tahu aja ya! Oik itu bukan barang yang bisa
di permainkan. Oik itu punya perasaan. Lo gila, Vin!” emosi Cakka naik saat
mendengar ucapan Alvin yang super enteng itu.
“Gue
sayang sama Oik, dan gue bukan banci kayak lo! Gue bakal dapetin dia apa pun
resikonya. Dan puas-puasin aja deh lo sama Oik-nya. Karna gue yakin, gue yang
akan menang.” Setelah ngomong seperti itu, Alvin pergi meninggalkan Cakka
dengan membawa dua gelas jus mangga ditangannya.
‘Alvin
gila banget sih. Gue nggak bakal rela kalau Oik sampai jadian sama Alvin. Apa
jadinya Oik nanti. Kalau pun akhirnya Oik nggak bareng gue, gue nggak masalah.
Asal jangan Alvin!’ Dengan langkah berat Cakka meninggalkan kantin menuju ruang
OSIS.
_
_
_
‘kring..’
‘tok..tok..tok’
“Cakka,
ada telpon nih dari Oik. Katanya mau ngomong sama kamu.” panggil mamanya
“Iya,
ma.” Cakka meletakkan barbelnya di meja, lalu membuka pintu kamar.
“Nih.”
“Iya
halo, Ik. Ada apa?”
“...Nggak
ada apa-apa kok. Cuman mau nelpon aja. Gue main ke rumah lo ya sekarang, Kka.”
“Eh,
jangan Ik.” Jawab Cakka panik.
“lho
kenapa? Gue kesana ya.”
“Jangan
sekarang. Ini kan udah malem, lo nggak tidur gitu?”
“Apa
sih lo. Gue kan udah biasa keluar masuk rumah lo malem-malem gini. ini juga
masih jam 7.”
“Ya
jangan pokoknya.” Tolak Cakka lagi, kelabakan.
“Ih,
aneh banget deh lo. Gue nggak boleh main. Ada pacar lo ya di rumah? Janji deh
gue nggak ganggu. Ayolah Kka! Males nih di rumah, lo tau kan gimana hubungan
aku sama Tante Winda.”
“Ih,
siapa juga yang udah punya pacar. Iya tahu gimana lo sama Tante Winda. Maka
dari itu gue kasih kesempatan lo satu hari buat cerita-cerita bareng sama tente
Winda. Dia juga mama lo kan? Walaupun mama tiri, tapi percaya deh sama gue. Dia
itu baik.”
“Cakka!!
Nggak asyik banget lo! Gue nggak tahan sama dia. ayolah Kka!”
Cakka
menghembuskan napasnya. “Ya udah. Lo tidur aja. Tadi kayaknya lo kecapekan gitu
deh. gue juga udah ngantuk nih. Bye Oik.” Cakka cepat-cepat memutuskan hubungan
telpon.
“Tumben
Oik nggak main ke sini, Kka?”
Cakka
terlonjak kaget mendengar suara mamanya.
“Mama
ada di situ sejak kapan?”
“Ya
dari tadi lah. Kamu-nya aja yang serius gitu ngomong sama Oik, sampai ada mama
di sini dari tadi kamu nggak liat.” Uci, mama Cakka hanya bisa
menggeleng-geleng sambil tersenyum. “Mama tanya, Oik tumben nggak main?”
“Iya,
nih ma. Tadi Cakka yang gak bolehin dia main. Mama mau Cakka malu di depan
Oik.”Cakka cemberut.
“Ya
habisnya kamu aneh-aneh banget sih. Pake mendadak gila olahraga lagi, bukannya
dari kecil kamu nggak suka?”
“Itu
juga kan gara-gara mama yang nggak nge-bolehin Cakka ikut gitu-gituan. Ntar
Capeklah, keringetan lah, ini lah, itu lah.” Cakka menirukan ucapan mamanya
dulu yang sering melarang Cakka untuk ikut gitu-gituan. Apalagi olahraga yang
terlalu berat-berat. Katanya sih ‘mama takut kehilangan kamu. kalo kamu
cidera.’ Alay banget gak tuh.
“Iya
ding. Mama lupa. Hehehe..” Uci hanya nyengir.
Sedangkan
Cakka makin cemberut.
“Ya
udah, anak mama jangan cemberut gini dong. Nih jusnya.” Uci memberikan segelas
jus mangga kesukaan Cakka yang sejak tadi dipegangnya.
Cakka
emang dari kecil sering dimanjakan sama mamanya. Makan aja kadang disuapin.
Akhirnya Cakka menolak semua manjaan yang dilakukan mamanya. “Malu diliatin
Oik, udah gede masih aja disuapin makannya.” Akhirnya sejak SD Cakka tidak lagi
disuapin.
Cakka
cuman punya satu kakak perempuan. Namanya kak Zahra. Dia itu anaknya tomboy.
Mamanya sering mengeluh, karna itu juga mama Cakka memperlakukan-nya manja.
Soalnya Zahra paling anti kalau digituin. Cakka deh jadi korbannya.
“Ya
udah deh ma, Cakka mau ngelanjutin Olahraganya.”
“Iya
deh. mama tahu, yang lagi kasmaran. Cinta itu perlu diperjuangkan, Cakka! Oik
pasti suka kok sama kamu, anak mama gitu. udah ganteng.”
“Ihh..
mama! Ntar kalau orangnya denger gimana. Ini rahasia.”
“Iya
deh. selamat berjuang!” Uci hanya cekikikan, keluar dari kamar anak cowoknya
itu.
***
Hari
Minggu yang cerah,
Cakka
sudah bangun dari subuh. Setelah sholat, dia langsung olahraga di depan gerbang
rumah Oik. Sebelum jogging, Cakka melakukan pemanasan terlebih dahulu.
Meregangkan otot-ototnya yang kaku. Dari kepala, tangan, hingga kaki.
Saat
pemanasan sesekali Cakka memandang rumah mewah yang berada tepat di depannya.
Walaupun rumah itu besar, namun rumah itu terlihat sepi. Lebih tepatnya Cakka
memandang ke jendela kamar Oik. *sebenarnya Cakka niat olahraga apa mau pamer
:p*
“Aku
bakal melakukan apa pun demi kamu Oik. Aku bakal rela kamu disakiti. Aku memang
nggak akan menerima taruhan itu, tapi aku akan terus berjuang.” Kata Cakka
dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal karena lari di tempat.
-
-
-
‘Kringggg...
kriiinggg...’
“Ah..
ganggu aja sih.” Gumam Oik nggak jelas.
Masih
dengan mata tertutup Oik meraih jam wekker doraemon-nya yang ada di meja sebelah
tempat tidurnya. Dengan malas Oik membuka matanya melihat jam berapa sekarang.
“Masih
jam enam juga.” saat Oik ingin melanjutkan tidurnya kembali, samar-samar ia
mendengar suara orang menghitung dari arah depan rumahnya.
“Tu...
Wa.. Ga.. Pat.. tangan kaki depan belakang. Eh, salah ya?”*korbanIklan*
“Satu...
Dua.. Tiga.. Empat.. Lima.. Enam... Tujuh... Delapan.. dan seterusnya” berkali-kali
orang itu berteriak.
“Aduh,
siapa sih tu orang. Ganggu aja. Tapi penasaran juga sih, mending liat aja.”
Gumam Oik beranjak dari tempat tidurnya mendekati jendela kamarnya yang
menghadap langsung ke halaman depan.
Oik
menyingkap gordennya. “Itu bukannya Cakka ya? Ngapain tuh orang di depan
rumah?” Oik melongo saat melihat Cakka tak ada kerjaan di depan rumahnya.
“Hah.. serius dia olahraga? Gokil banget dia, bukannya dia anti banget ya sama
yang gitu-gituan.” Oik menahan tawanya, cepat-cepat ia membuka jendelanya.
“Woy
Kka!! Ngapain lo di depan rumah gue?” kali ini tawa Oik sudah meledak.
Di
bawah sana Cakka terlihat celingak-celinguk mencari suara, sebelum akhirnya dia
mendongak ke atas. Sudah ada Oik di balkon kamarnya.
“Gu..
gue lagi olahraga dong. Liat nih!” Cakka menggerak-gerakkan tangannya,
“Gue
tau, gak biasanya lo.”
“Gue
udah biasa olahraga kok, lo nya aja yang nggak peka.” Cakka gugup,
“Guk..
guk guk.. guk” Cakka mencari asal suara. Saat menoleh ke belakang dilihatnya
Sebuah anjing.
“Anjing
manis, jangan nakal yah.” Cakka nyengir ke arah anjing.
Dengan
gugup Cakka pamit ke oik. “Ya udah deh Ik, gue mau jogging dulu. Dah!”
“Eh
lo mau kemana...” Ucapan Oik terputus karena
Cakka sudah kabur. Padahal dia mau ikutan. “Dasar aneh.” Oik masih saja
terkikik geli ternyata di belakang Cakka seekor anjing menyusul.
-
-
-
Cakka
masih saja berlari di sepanjang komplek. Ia tak mau mati konyol gara-gara
anjing satu itu. Nafas Cakka sudah satu-satu.
“Ya
Allah, jauhkanlah aku dari anjing itu.” doanya.
Akhirnya
Cakka berhenti di sebuah pohon beringin yang ada di tepi jalan. Cakka masih
membungkuk mengatur napasnya.
“Ambil
napas buang. Ambil napas buang.” Instruksinya sendiri seperti bidan yang sedang
menangani ibu-ibu mau melahirkan.
“Kak
Cakka.”
Bersambung___
#hayo, siapa lo yg manggil :p tambah kesini perasaan alurnya makin ancur -_- =D makasih udah baca.