Jumat, 05 Juli 2013

Cinta Maraton Part 2

Pulang sekolah Oik langsung menuju ke ruang OSIS. Saat Oik datang semua anggota OSIS dan panitia juga sudah kumpul.
“Maaf ya telat.” Ujar Oik.
“Karena Oik sudah datang, rapat kita mulai dari sekarang aja.”
Cakka membuka rapat siang ini.
“Menurut kamu, gimana? Kalo kita adain lomba olah raga juga. daripada cuman seni.” tanya Cakka ke Oik.
“Bagus. Lomba maraton cukup menarik kayaknya.”
“Lari maraton?” Cakka cukup kaget saat mendengar lomba lari.
“Iya. Kenapa? Kamu takut nggak kuat.”
Cakka menatap Oik tak percaya. Pasalnya Cakka itu dari kecil nggak bisa lari cepat. Tengsin dong sama Oik.
“hahaha.. nggak, siapa juga yang takut. Oke,”
“Gimana teman-teman? Setuju nggak?” Tanya Cakka.
“Setuju.”
“Baik, Cakka gue percaya sama lo ya. Maaf, gue mau pamit pulang dulu.”
Lagi-lagi Cakka yang harus menutup rapat. Yang jadi Ketua OSIS sebenarnya siapa sih? Oik apa Cakka? Kenapa Cakka yang ribet sendiri. Dan anak-anak cewek yang ada di situ saling berbisik mengantar kepergian Oik. Namun Cakka tak ambil pusing.

“kak Cakka!” panggil seorang cewek, saat Cakka sedang membereskan ruang OSIS.
“Eh, Nadia. Ada apa?” tanyanya bingung.
“Nggak kok, mau aku bantuin?” tanya Nadia.
“boleh.” Cakka tersenyum ramah.
“Kak Cakka, kakak pacarnya kak Oik ya?”
“hah? Oik? Bukan kok. Emangnya kenapa?”
“nggak apa-apa sih. Tapi kok kakak sama kak Oik akrab banget. Sampe kakak mau bantuin kak Oik segitunya, kemana-mana juga bareng.”
“Gue sama Oik udah temenan dari kecil. Jadi wajar dong gue sama dia deket.” Cakka mengacak rambut Nadia.
Nadia yang digituin tersipu malu. ‘kak Cakka baik banget sih.’
Nadia dan Cakka saling bertukar cerita selama mereka membersihkan ruang OSIS.
***
Di lain tempat.
“Rumah lo masih yang dulu kan, Ik?” tanya Alvin saat Oik sudah masuk ke dalam mobilnya.
“Iya, Vin. Sampai aku bosen sendiri, tetanggaan sama Cakka lagi.” Oik tertawa tiap kali dia menceritakan tentang dia dan cakka. Merasa geli aja. “Tapi untungnya ada Cakka, jadi gue nggak kesepian deh di rumah.”
“Oh. Jadi kalian berdua masih tetanggaan?”
“Iya dong. Sayang banget dulu lo pindah.” Oik menoleh ke Alvin sambil tersenyum nakal.
‘yes, Oik masih ngeharapin aku.’
“Ya udah kita jalan sekarang nih? Mau langsung balik atau jalan-jalan dulu?” tanya Alvin.
“Balik aja deh, capek banget Vin.”
“Siap tuan putri.” Alvin pun melajukan mobilnya menuju ke kediaman Oik.
Selama di perjalanan Alvin dan Oik tak henti-hentinya bercerita tentang masa kecil mereka sambil sesekali mereka tertawa kalau mengingat hal-hal lucu yang dulu mereka lakuin. Walaupun dari kecil Oik lebih sering bermain boneka-bonekaan sama Cakka daripada main mobil-mobilan bareng Alvin.

“Oik, ini ya rumah lo?” tanya Alvin setelah mereka sampai di rumah Oik.
“Iya, Vin. Makasih ya udah di anterin. Lo mau masuk dulu apa langsung pulang?” Tanya Oik menawarkan.
“Mainnya lain kali aja ya, gue udah ditunggu mama nih.”
“Iya deh. sekali lagi makasih ya.” Oik keluar dari mobil Alvin dan menutupnya.
Setelah mobil Alvin pergi, Oik segera membuka gerbangnya dengan perasaan lebih bahagia. Namun gerakannya dihentikan oleh sebuah suara.
“Ekhem... Seneng banget deh kayaknya.”
Oik membalikkan tubuhnya dan tersenyum lebar. “eh Cakka. Iya dong seneng. Lo tau nggak...”
“nggak.” Jawab Cakka singkat.
“yee.. gue belum selesai kali ngomongnya.” Oik cemberut tapi ekspresinya langsung berubah senang kembali. “Coba deh tebak. Tadi aku pulang sama siapa.” Oik menatap Cakka dengan misterius.
“Cowok baru lo? Gebetan baru yang tadi ngajakin kencan? Tunangan lo yang baru pulang dari Amrik..”
“Ih bukan, Cakka. Masak nggak tau sih. Barusan aku dianterin pulang sama Alvin.”
“Alvin? Alvin siapa?”
“Alvin cowok basket sekolah. Dan lo tau apa? Ternyata dia itu teman kita waktu kecil. Aaaaaa...” Oik menjerit histeris. Namun Cakka hanya cengok menatapnya.
“Oh”
“kok cuman ‘oh’ doang sih?” Oik cemberut.
“Iya deh Oik. Turut senang gue.” Cakka tersenyum sinis.
‘Ngapain tuh anak balik lagi sih? Tapi Oik, apa Alvin bakalan jadi cowok dia selanjutnya? Giliran gue kapan dong?’
“Cakka. Lo denger gue ngomong nggak sih?” Oik mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka Cakka.
“Denger kok.”
“Ya udah, nunggu apa lagi? sono balik! Gue mau tidur.” Oik mengusir Cakka dengan mendorong tubuh Cakka menuju rumahnya.
“Siang ini lo nggak usah tidur deh. mending kita main aja.”
“nggak Cakka. Gue capek.”
“Ik...”
Oik cuman memelototi Cakka tajam, yang membuat Cakka mau tidak mau masuk ke rumahnya.
***
            Istirahat pertama Oik menghabiskan waktunya di ruang OSIS. Waktu Oik masuk di dalam ada Cakka dan Nadia sedang tertawa-tawa di depan komputer.
“Ekhem..” Oik berdehem yang membuat Cakka dan Nadia menoleh, namun Cakka masih menyunggingkan senyum lebarnya.
“Eh ada Oik. Udah lama?” Tanya Cakka.
“Nggak barusan.” Jawab Oik cuek. Oik enghampiri komputer yang ada di mejanya. “Kayaknya kalian asyik banget, sampai ketawa segitunya.”
“Iya nih, kak. Tadi kak Cakka cerita lucu banget.” Sambut Nadia dengan senang.
“Ik, Nad. Gue ke toilet dulu ya kebelet nih. Ntar sekalian gue beliin minum deh.” Cakka cepat-cepat keluar.
            Setelah Cakka keluar dari ruang OSIS. Suasana menjadi hening seketika. Tidak ada suara tawa lagi. Oik maupun Nadia sama-sama diam.
“Kak Oik, aku mau ngomong sama kakak.” Suara Nadia memecahkan keheningan.
“Ya udah ngomong aja.” Jawab Oik tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari komputer.
“Maaf kalau aku nggak sopan. Tapi aku cuman mau bilang, apa kakak nggak kasihan apa sama kak Cakka? Kak Oik tuh sebenernya nganggap kak Cakka teman atau pembantu sih?”
“Maksud lo apa?” tanya Oik belum ngeh.
“Tadi aku ngomong udah jelas kan kak?”
“Nggak ada urusannya sama lo juga kan?” kata Oik cuek. “Lagian Cakka-nya sendiri yang mau gitu. Gue nggak nyuruh dia ya.”
“Oh, gue paham. Lo tenang aja Nadia, gue sama Cakka itu cuman teman. Nggak lebih! Jadi lo nggak usah khawatir kalau gue bakal rebut Cakka dari lo. Lo suka kan sama dia?” Oik memutar matanya malas.
“Beneran kak Oik cuman temannya Kak Cakka doang?”
“Iya lah. Gue sama dia udah dari lahir temenan. Kalau lo suka ya ambil aja dia.”
Mendengar jawaban Oik, Nadia bisa tersenyum lega.
_
_
_
“Pak Somat, jus mangga 2!” Ujar seseorang.
“Iya, Mas Cakka.” Ujar Pak Somat sambil tersenyum.
Cakka menoleh ke samping. Didapatinya Alvin sedang berdiri cuek, namun ia pun menoleh ke arah Cakka.
“Akhirnya gue bisa ketemu lo lagi.” Ujar Alvin tersenyum sinis. “Udah bisa lari cepat belum?”
            Cakka yang digituin merasa harga dirinya terinjak, namun Cakka masih tetap tenang. Ia malas kalau udah urusan kayak gini, dari dulu Alvin yang bakalan menang.
“Ya udahlah.” Cakka membanggakan dirinya, walaupun tadi itu jawaban asal ceplos doang.
“Oh bagus dong kalau gitu. Tadinya gue emang berniat ngajakin lo balap lari, tapi gue takut lo kalah. Tapi karna sekarang lo udah kuat, mau nggak ntar kita adu di turnamen lari maraton satu sekolah kita. Tenang aja, ini hadiahnya kok.”
“Hadiah apa’an. Gue mau-mau aja tanding sama lo,” Tantang Cakka dengan suara khasnya yang selengek’an. “kecil itu.”
“Mas Cakka, ini jus-nya.” Suara pak Somat menghentikan pembicaraan Cakka dan Alvin.
“Makasih Pak. Ini uangnya.” Cakka mengangsurkan uangnya.
Cakka tersenyum ramah ke Pak Somat, sambil meraih jus mangganya.
“Itu jus buat Oik ya?” Tanya Alvin.
“Iya.”
“Kayaknya lo perhatian banget sama dia. kalian pacaran?”
“Iyalah gue perhatian. Orang gue temennya. Kita nggak pacaran.”
“Tapi lo suka kan? Secara dia itu temen masa kecil lo. Kalian bareng terus gitu.”
“mana ada cowok yang nggak suka sama cewek secantik Oik.” Ujar Cakka dengan jawaban ambigunya.
“Gimana kalau hadiahnya Oik. Siapa yang bisa ngelewatin garis finish duluan itu pemenangnya. Dan boleh ngedapetin Oik. Tapi yang kalah, dia harus rela ngelepas Oik dan nggak boleh berhubungan sama dia.”
“Ya nggak bisa gitu dong! Eh, asal lo tahu aja ya! Oik itu bukan barang yang bisa di permainkan. Oik itu punya perasaan. Lo gila, Vin!” emosi Cakka naik saat mendengar ucapan Alvin yang super enteng itu.
“Gue sayang sama Oik, dan gue bukan banci kayak lo! Gue bakal dapetin dia apa pun resikonya. Dan puas-puasin aja deh lo sama Oik-nya. Karna gue yakin, gue yang akan menang.” Setelah ngomong seperti itu, Alvin pergi meninggalkan Cakka dengan membawa dua gelas jus mangga ditangannya.
‘Alvin gila banget sih. Gue nggak bakal rela kalau Oik sampai jadian sama Alvin. Apa jadinya Oik nanti. Kalau pun akhirnya Oik nggak bareng gue, gue nggak masalah. Asal jangan Alvin!’ Dengan langkah berat Cakka meninggalkan kantin menuju ruang OSIS.
_
_
_
‘kring..’
‘tok..tok..tok’
“Cakka, ada telpon nih dari Oik. Katanya mau ngomong sama kamu.” panggil mamanya
“Iya, ma.” Cakka meletakkan barbelnya di meja, lalu membuka pintu kamar.
“Nih.”
“Iya halo, Ik. Ada apa?”
“...Nggak ada apa-apa kok. Cuman mau nelpon aja. Gue main ke rumah lo ya sekarang, Kka.”
“Eh, jangan Ik.” Jawab Cakka panik.
“lho kenapa? Gue kesana ya.”
“Jangan sekarang. Ini kan udah malem, lo nggak tidur gitu?”
“Apa sih lo. Gue kan udah biasa keluar masuk rumah lo malem-malem gini. ini juga masih jam 7.”
“Ya jangan pokoknya.” Tolak Cakka lagi, kelabakan.
“Ih, aneh banget deh lo. Gue nggak boleh main. Ada pacar lo ya di rumah? Janji deh gue nggak ganggu. Ayolah Kka! Males nih di rumah, lo tau kan gimana hubungan aku sama Tante Winda.”
“Ih, siapa juga yang udah punya pacar. Iya tahu gimana lo sama Tante Winda. Maka dari itu gue kasih kesempatan lo satu hari buat cerita-cerita bareng sama tente Winda. Dia juga mama lo kan? Walaupun mama tiri, tapi percaya deh sama gue. Dia itu baik.”
“Cakka!! Nggak asyik banget lo! Gue nggak tahan sama dia. ayolah Kka!”
Cakka menghembuskan napasnya. “Ya udah. Lo tidur aja. Tadi kayaknya lo kecapekan gitu deh. gue juga udah ngantuk nih. Bye Oik.” Cakka cepat-cepat memutuskan hubungan telpon.
“Tumben Oik nggak main ke sini, Kka?”
Cakka terlonjak kaget mendengar suara mamanya.
“Mama ada di situ sejak kapan?”
“Ya dari tadi lah. Kamu-nya aja yang serius gitu ngomong sama Oik, sampai ada mama di sini dari tadi kamu nggak liat.” Uci, mama Cakka hanya bisa menggeleng-geleng sambil tersenyum. “Mama tanya, Oik tumben nggak main?”
“Iya, nih ma. Tadi Cakka yang gak bolehin dia main. Mama mau Cakka malu di depan Oik.”Cakka cemberut.
“Ya habisnya kamu aneh-aneh banget sih. Pake mendadak gila olahraga lagi, bukannya dari kecil kamu nggak suka?”
“Itu juga kan gara-gara mama yang nggak nge-bolehin Cakka ikut gitu-gituan. Ntar Capeklah, keringetan lah, ini lah, itu lah.” Cakka menirukan ucapan mamanya dulu yang sering melarang Cakka untuk ikut gitu-gituan. Apalagi olahraga yang terlalu berat-berat. Katanya sih ‘mama takut kehilangan kamu. kalo kamu cidera.’ Alay banget gak tuh.
“Iya ding. Mama lupa. Hehehe..” Uci hanya nyengir.
Sedangkan Cakka makin cemberut.
“Ya udah, anak mama jangan cemberut gini dong. Nih jusnya.” Uci memberikan segelas jus mangga kesukaan Cakka yang sejak tadi dipegangnya.
Cakka emang dari kecil sering dimanjakan sama mamanya. Makan aja kadang disuapin. Akhirnya Cakka menolak semua manjaan yang dilakukan mamanya. “Malu diliatin Oik, udah gede masih aja disuapin makannya.” Akhirnya sejak SD Cakka tidak lagi disuapin.
Cakka cuman punya satu kakak perempuan. Namanya kak Zahra. Dia itu anaknya tomboy. Mamanya sering mengeluh, karna itu juga mama Cakka memperlakukan-nya manja. Soalnya Zahra paling anti kalau digituin. Cakka deh jadi korbannya.
“Ya udah deh ma, Cakka mau ngelanjutin Olahraganya.”
“Iya deh. mama tahu, yang lagi kasmaran. Cinta itu perlu diperjuangkan, Cakka! Oik pasti suka kok sama kamu, anak mama gitu. udah ganteng.”
“Ihh.. mama! Ntar kalau orangnya denger gimana. Ini rahasia.”
“Iya deh. selamat berjuang!” Uci hanya cekikikan, keluar dari kamar anak cowoknya itu.
***
Hari Minggu yang cerah,
Cakka sudah bangun dari subuh. Setelah sholat, dia langsung olahraga di depan gerbang rumah Oik. Sebelum jogging, Cakka melakukan pemanasan terlebih dahulu. Meregangkan otot-ototnya yang kaku. Dari kepala, tangan, hingga kaki.
Saat pemanasan sesekali Cakka memandang rumah mewah yang berada tepat di depannya. Walaupun rumah itu besar, namun rumah itu terlihat sepi. Lebih tepatnya Cakka memandang ke jendela kamar Oik. *sebenarnya Cakka niat olahraga apa mau pamer :p*
“Aku bakal melakukan apa pun demi kamu Oik. Aku bakal rela kamu disakiti. Aku memang nggak akan menerima taruhan itu, tapi aku akan terus berjuang.” Kata Cakka dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal karena lari di tempat.
-
-
-
‘Kringggg... kriiinggg...’
“Ah.. ganggu aja sih.” Gumam Oik nggak jelas.
Masih dengan mata tertutup Oik meraih jam wekker doraemon-nya yang ada di meja sebelah tempat tidurnya. Dengan malas Oik membuka matanya melihat jam berapa sekarang.
“Masih jam enam juga.” saat Oik ingin melanjutkan tidurnya kembali, samar-samar ia mendengar suara orang menghitung dari arah depan rumahnya.
“Tu... Wa.. Ga.. Pat.. tangan kaki depan belakang. Eh, salah ya?”*korbanIklan*
“Satu... Dua.. Tiga.. Empat.. Lima.. Enam... Tujuh... Delapan.. dan seterusnya” berkali-kali orang itu berteriak.
“Aduh, siapa sih tu orang. Ganggu aja. Tapi penasaran juga sih, mending liat aja.” Gumam Oik beranjak dari tempat tidurnya mendekati jendela kamarnya yang menghadap langsung ke halaman depan.
Oik menyingkap gordennya. “Itu bukannya Cakka ya? Ngapain tuh orang di depan rumah?” Oik melongo saat melihat Cakka tak ada kerjaan di depan rumahnya. “Hah.. serius dia olahraga? Gokil banget dia, bukannya dia anti banget ya sama yang gitu-gituan.” Oik menahan tawanya, cepat-cepat ia membuka jendelanya.
“Woy Kka!! Ngapain lo di depan rumah gue?” kali ini tawa Oik sudah meledak.
Di bawah sana Cakka terlihat celingak-celinguk mencari suara, sebelum akhirnya dia mendongak ke atas. Sudah ada Oik di balkon kamarnya.
“Gu.. gue lagi olahraga dong. Liat nih!” Cakka menggerak-gerakkan tangannya,
“Gue tau, gak biasanya lo.”
“Gue udah biasa olahraga kok, lo nya aja yang nggak peka.” Cakka gugup,
“Guk.. guk guk.. guk” Cakka mencari asal suara. Saat menoleh ke belakang dilihatnya Sebuah anjing.
“Anjing manis, jangan nakal yah.” Cakka nyengir ke arah anjing.
Dengan gugup Cakka pamit ke oik. “Ya udah deh Ik, gue mau jogging dulu. Dah!”
“Eh lo mau kemana...” Ucapan Oik terputus karena  Cakka sudah kabur. Padahal dia mau ikutan. “Dasar aneh.” Oik masih saja terkikik geli ternyata di belakang Cakka seekor anjing menyusul.
-
-
-
Cakka masih saja berlari di sepanjang komplek. Ia tak mau mati konyol gara-gara anjing satu itu. Nafas Cakka sudah satu-satu.
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari anjing itu.” doanya.
Akhirnya Cakka berhenti di sebuah pohon beringin yang ada di tepi jalan. Cakka masih membungkuk mengatur napasnya.
“Ambil napas buang. Ambil napas buang.” Instruksinya sendiri seperti bidan yang sedang menangani ibu-ibu mau melahirkan.

“Kak Cakka.”





Bersambung___


#hayo, siapa lo yg manggil :p tambah kesini perasaan alurnya makin ancur -_- =D makasih udah baca.

Cinta Maraton Part 2


Pulang sekolah Oik langsung menuju ke ruang OSIS. Saat Oik datang semua anggota OSIS dan panitia juga sudah kumpul.
“Maaf ya telat.” Ujar Oik.
“Karena Oik sudah datang, rapat kita mulai dari sekarang aja.”
Cakka membuka rapat siang ini.
“Menurut kamu, gimana? Kalo kita adain lomba olah raga juga. daripada cuman seni.” tanya Cakka ke Oik.
“Bagus. Lomba maraton cukup menarik kayaknya.”
“Lari maraton?” Cakka cukup kaget saat mendengar lomba lari.
“Iya. Kenapa? Kamu takut nggak kuat.”
Cakka menatap Oik tak percaya. Pasalnya Cakka itu dari kecil nggak bisa lari cepat. Tengsin dong sama Oik.
“hahaha.. nggak, siapa juga yang takut. Oke,”
“Gimana teman-teman? Setuju nggak?” Tanya Cakka.
“Setuju.”
“Baik, Cakka gue percaya sama lo ya. Maaf, gue mau pamit pulang dulu.”
Lagi-lagi Cakka yang harus menutup rapat. Yang jadi Ketua OSIS sebenarnya siapa sih? Oik apa Cakka? Kenapa Cakka yang ribet sendiri. Dan anak-anak cewek yang ada di situ saling berbisik mengantar kepergian Oik. Namun Cakka tak ambil pusing.

“kak Cakka!” panggil seorang cewek, saat Cakka sedang membereskan ruang OSIS.
“Eh, Nadia. Ada apa?” tanyanya bingung.
“Nggak kok, mau aku bantuin?” tanya Nadia.
“boleh.” Cakka tersenyum ramah.
“Kak Cakka, kakak pacarnya kak Oik ya?”
“hah? Oik? Bukan kok. Emangnya kenapa?”
“nggak apa-apa sih. Tapi kok kakak sama kak Oik akrab banget. Sampe kakak mau bantuin kak Oik segitunya, kemana-mana juga bareng.”
“Gue sama Oik udah temenan dari kecil. Jadi wajar dong gue sama dia deket.” Cakka mengacak rambut Nadia.
Nadia yang digituin tersipu malu. ‘kak Cakka baik banget sih.’
Nadia dan Cakka saling bertukar cerita selama mereka membersihkan ruang OSIS.
***
Di lain tempat.
“Rumah lo masih yang dulu kan, Ik?” tanya Alvin saat Oik sudah masuk ke dalam mobilnya.
“Iya, Vin. Sampai aku bosen sendiri, tetanggaan sama Cakka lagi.” Oik tertawa tiap kali dia menceritakan tentang dia dan cakka. Merasa geli aja. “Tapi untungnya ada Cakka, jadi gue nggak kesepian deh di rumah.”
“Oh. Jadi kalian berdua masih tetanggaan?”
“Iya dong. Sayang banget dulu lo pindah.” Oik menoleh ke Alvin sambil tersenyum nakal.
‘yes, Oik masih ngeharapin aku.’
“Ya udah kita jalan sekarang nih? Mau langsung balik atau jalan-jalan dulu?” tanya Alvin.
“Balik aja deh, capek banget Vin.”
“Siap tuan putri.” Alvin pun melajukan mobilnya menuju ke kediaman Oik.
Selama di perjalanan Alvin dan Oik tak henti-hentinya bercerita tentang masa kecil mereka sambil sesekali mereka tertawa kalau mengingat hal-hal lucu yang dulu mereka lakuin. Walaupun dari kecil Oik lebih sering bermain boneka-bonekaan sama Cakka daripada main mobil-mobilan bareng Alvin.

“Oik, ini ya rumah lo?” tanya Alvin setelah mereka sampai di rumah Oik.
“Iya, Vin. Makasih ya udah di anterin. Lo mau masuk dulu apa langsung pulang?” Tanya Oik menawarkan.
“Mainnya lain kali aja ya, gue udah ditunggu mama nih.”
“Iya deh. sekali lagi makasih ya.” Oik keluar dari mobil Alvin dan menutupnya.
Setelah mobil Alvin pergi, Oik segera membuka gerbangnya dengan perasaan lebih bahagia. Namun gerakannya dihentikan oleh sebuah suara.
“Ekhem... Seneng banget deh kayaknya.”
Oik membalikkan tubuhnya dan tersenyum lebar. “eh Cakka. Iya dong seneng. Lo tau nggak...”
“nggak.” Jawab Cakka singkat.
“yee.. gue belum selesai kali ngomongnya.” Oik cemberut tapi ekspresinya langsung berubah senang kembali. “Coba deh tebak. Tadi aku pulang sama siapa.” Oik menatap Cakka dengan misterius.
“Cowok baru lo? Gebetan baru yang tadi ngajakin kencan? Tunangan lo yang baru pulang dari Amrik..”
“Ih bukan, Cakka. Masak nggak tau sih. Barusan aku dianterin pulang sama Alvin.”
“Alvin? Alvin siapa?”
“Alvin cowok basket sekolah. Dan lo tau apa? Ternyata dia itu teman kita waktu kecil. Aaaaaa...” Oik menjerit histeris. Namun Cakka hanya cengok menatapnya.
“Oh”
“kok cuman ‘oh’ doang sih?” Oik cemberut.
“Iya deh Oik. Turut senang gue.” Cakka tersenyum sinis.
‘Ngapain tuh anak balik lagi sih? Tapi Oik, apa Alvin bakalan jadi cowok dia selanjutnya? Giliran gue kapan dong?’
“Cakka. Lo denger gue ngomong nggak sih?” Oik mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka Cakka.
“Denger kok.”
“Ya udah, nunggu apa lagi? sono balik! Gue mau tidur.” Oik mengusir Cakka dengan mendorong tubuh Cakka menuju rumahnya.
“Siang ini lo nggak usah tidur deh. mending kita main aja.”
“nggak Cakka. Gue capek.”
“Ik...”
Oik cuman memelototi Cakka tajam, yang membuat Cakka mau tidak mau masuk ke rumahnya.
***
            Istirahat pertama Oik menghabiskan waktunya di ruang OSIS. Waktu Oik masuk di dalam ada Cakka dan Nadia sedang tertawa-tawa di depan komputer.
“Ekhem..” Oik berdehem yang membuat Cakka dan Nadia menoleh, namun Cakka masih menyunggingkan senyum lebarnya.
“Eh ada Oik. Udah lama?” Tanya Cakka.
“Nggak barusan.” Jawab Oik cuek. Oik enghampiri komputer yang ada di mejanya. “Kayaknya kalian asyik banget, sampai ketawa segitunya.”
“Iya nih, kak. Tadi kak Cakka cerita lucu banget.” Sambut Nadia dengan senang.
“Ik, Nad. Gue ke toilet dulu ya kebelet nih. Ntar sekalian gue beliin minum deh.” Cakka cepat-cepat keluar.
            Setelah Cakka keluar dari ruang OSIS. Suasana menjadi hening seketika. Tidak ada suara tawa lagi. Oik maupun Nadia sama-sama diam.
“Kak Oik, aku mau ngomong sama kakak.” Suara Nadia memecahkan keheningan.
“Ya udah ngomong aja.” Jawab Oik tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari komputer.
“Maaf kalau aku nggak sopan. Tapi aku cuman mau bilang, apa kakak nggak kasihan apa sama kak Cakka? Kak Oik tuh sebenernya nganggap kak Cakka teman atau pembantu sih?”
“Maksud lo apa?” tanya Oik belum ngeh.
“Tadi aku ngomong udah jelas kan kak?”
“Nggak ada urusannya sama lo juga kan?” kata Oik cuek. “Lagian Cakka-nya sendiri yang mau gitu. Gue nggak nyuruh dia ya.”
“Oh, gue paham. Lo tenang aja Nadia, gue sama Cakka itu cuman teman. Nggak lebih! Jadi lo nggak usah khawatir kalau gue bakal rebut Cakka dari lo. Lo suka kan sama dia?” Oik memutar matanya malas.
“Beneran kak Oik cuman temannya Kak Cakka doang?”
“Iya lah. Gue sama dia udah dari lahir temenan. Kalau lo suka ya ambil aja dia.”
Mendengar jawaban Oik, Nadia bisa tersenyum lega.
_
_
_
“Pak Somat, jus mangga 2!” Ujar seseorang.
“Iya, Mas Cakka.” Ujar Pak Somat sambil tersenyum.
Cakka menoleh ke samping. Didapatinya Alvin sedang berdiri cuek, namun ia pun menoleh ke arah Cakka.
“Akhirnya gue bisa ketemu lo lagi.” Ujar Alvin tersenyum sinis. “Udah bisa lari cepat belum?”
            Cakka yang digituin merasa harga dirinya terinjak, namun Cakka masih tetap tenang. Ia malas kalau udah urusan kayak gini, dari dulu Alvin yang bakalan menang.
“Ya udahlah.” Cakka membanggakan dirinya, walaupun tadi itu jawaban asal ceplos doang.
“Oh bagus dong kalau gitu. Tadinya gue emang berniat ngajakin lo balap lari, tapi gue takut lo kalah. Tapi karna sekarang lo udah kuat, mau nggak ntar kita adu di turnamen lari maraton satu sekolah kita. Tenang aja, ini hadiahnya kok.”
“Hadiah apa’an. Gue mau-mau aja tanding sama lo,” Tantang Cakka dengan suara khasnya yang selengek’an. “kecil itu.”
“Mas Cakka, ini jus-nya.” Suara pak Somat menghentikan pembicaraan Cakka dan Alvin.
“Makasih Pak. Ini uangnya.” Cakka mengangsurkan uangnya.
Cakka tersenyum ramah ke Pak Somat, sambil meraih jus mangganya.
“Itu jus buat Oik ya?” Tanya Alvin.
“Iya.”
“Kayaknya lo perhatian banget sama dia. kalian pacaran?”
“Iyalah gue perhatian. Orang gue temennya. Kita nggak pacaran.”
“Tapi lo suka kan? Secara dia itu temen masa kecil lo. Kalian bareng terus gitu.”
“mana ada cowok yang nggak suka sama cewek secantik Oik.” Ujar Cakka dengan jawaban ambigunya.
“Gimana kalau hadiahnya Oik. Siapa yang bisa ngelewatin garis finish duluan itu pemenangnya. Dan boleh ngedapetin Oik. Tapi yang kalah, dia harus rela ngelepas Oik dan nggak boleh berhubungan sama dia.”
“Ya nggak bisa gitu dong! Eh, asal lo tahu aja ya! Oik itu bukan barang yang bisa di permainkan. Oik itu punya perasaan. Lo gila, Vin!” emosi Cakka naik saat mendengar ucapan Alvin yang super enteng itu.
“Gue sayang sama Oik, dan gue bukan banci kayak lo! Gue bakal dapetin dia apa pun resikonya. Dan puas-puasin aja deh lo sama Oik-nya. Karna gue yakin, gue yang akan menang.” Setelah ngomong seperti itu, Alvin pergi meninggalkan Cakka dengan membawa dua gelas jus mangga ditangannya.
‘Alvin gila banget sih. Gue nggak bakal rela kalau Oik sampai jadian sama Alvin. Apa jadinya Oik nanti. Kalau pun akhirnya Oik nggak bareng gue, gue nggak masalah. Asal jangan Alvin!’ Dengan langkah berat Cakka meninggalkan kantin menuju ruang OSIS.
_
_
_
‘kring..’
‘tok..tok..tok’
“Cakka, ada telpon nih dari Oik. Katanya mau ngomong sama kamu.” panggil mamanya
“Iya, ma.” Cakka meletakkan barbelnya di meja, lalu membuka pintu kamar.
“Nih.”
“Iya halo, Ik. Ada apa?”
“...Nggak ada apa-apa kok. Cuman mau nelpon aja. Gue main ke rumah lo ya sekarang, Kka.”
“Eh, jangan Ik.” Jawab Cakka panik.
“lho kenapa? Gue kesana ya.”
“Jangan sekarang. Ini kan udah malem, lo nggak tidur gitu?”
“Apa sih lo. Gue kan udah biasa keluar masuk rumah lo malem-malem gini. ini juga masih jam 7.”
“Ya jangan pokoknya.” Tolak Cakka lagi, kelabakan.
“Ih, aneh banget deh lo. Gue nggak boleh main. Ada pacar lo ya di rumah? Janji deh gue nggak ganggu. Ayolah Kka! Males nih di rumah, lo tau kan gimana hubungan aku sama Tante Winda.”
“Ih, siapa juga yang udah punya pacar. Iya tahu gimana lo sama Tante Winda. Maka dari itu gue kasih kesempatan lo satu hari buat cerita-cerita bareng sama tente Winda. Dia juga mama lo kan? Walaupun mama tiri, tapi percaya deh sama gue. Dia itu baik.”
“Cakka!! Nggak asyik banget lo! Gue nggak tahan sama dia. ayolah Kka!”
Cakka menghembuskan napasnya. “Ya udah. Lo tidur aja. Tadi kayaknya lo kecapekan gitu deh. gue juga udah ngantuk nih. Bye Oik.” Cakka cepat-cepat memutuskan hubungan telpon.
“Tumben Oik nggak main ke sini, Kka?”
Cakka terlonjak kaget mendengar suara mamanya.
“Mama ada di situ sejak kapan?”
“Ya dari tadi lah. Kamu-nya aja yang serius gitu ngomong sama Oik, sampai ada mama di sini dari tadi kamu nggak liat.” Uci, mama Cakka hanya bisa menggeleng-geleng sambil tersenyum. “Mama tanya, Oik tumben nggak main?”
“Iya, nih ma. Tadi Cakka yang gak bolehin dia main. Mama mau Cakka malu di depan Oik.”Cakka cemberut.
“Ya habisnya kamu aneh-aneh banget sih. Pake mendadak gila olahraga lagi, bukannya dari kecil kamu nggak suka?”
“Itu juga kan gara-gara mama yang nggak nge-bolehin Cakka ikut gitu-gituan. Ntar Capeklah, keringetan lah, ini lah, itu lah.” Cakka menirukan ucapan mamanya dulu yang sering melarang Cakka untuk ikut gitu-gituan. Apalagi olahraga yang terlalu berat-berat. Katanya sih ‘mama takut kehilangan kamu. kalo kamu cidera.’ Alay banget gak tuh.
“Iya ding. Mama lupa. Hehehe..” Uci hanya nyengir.
Sedangkan Cakka makin cemberut.
“Ya udah, anak mama jangan cemberut gini dong. Nih jusnya.” Uci memberikan segelas jus mangga kesukaan Cakka yang sejak tadi dipegangnya.
Cakka emang dari kecil sering dimanjakan sama mamanya. Makan aja kadang disuapin. Akhirnya Cakka menolak semua manjaan yang dilakukan mamanya. “Malu diliatin Oik, udah gede masih aja disuapin makannya.” Akhirnya sejak SD Cakka tidak lagi disuapin.
Cakka cuman punya satu kakak perempuan. Namanya kak Zahra. Dia itu anaknya tomboy. Mamanya sering mengeluh, karna itu juga mama Cakka memperlakukan-nya manja. Soalnya Zahra paling anti kalau digituin. Cakka deh jadi korbannya.
“Ya udah deh ma, Cakka mau ngelanjutin Olahraganya.”
“Iya deh. mama tahu, yang lagi kasmaran. Cinta itu perlu diperjuangkan, Cakka! Oik pasti suka kok sama kamu, anak mama gitu. udah ganteng.”
“Ihh.. mama! Ntar kalau orangnya denger gimana. Ini rahasia.”
“Iya deh. selamat berjuang!” Uci hanya cekikikan, keluar dari kamar anak cowoknya itu.
***
Hari Minggu yang cerah,
Cakka sudah bangun dari subuh. Setelah sholat, dia langsung olahraga di depan gerbang rumah Oik. Sebelum jogging, Cakka melakukan pemanasan terlebih dahulu. Meregangkan otot-ototnya yang kaku. Dari kepala, tangan, hingga kaki.
Saat pemanasan sesekali Cakka memandang rumah mewah yang berada tepat di depannya. Walaupun rumah itu besar, namun rumah itu terlihat sepi. Lebih tepatnya Cakka memandang ke jendela kamar Oik. *sebenarnya Cakka niat olahraga apa mau pamer :p*
“Aku bakal melakukan apa pun demi kamu Oik. Aku bakal rela kamu disakiti. Aku memang nggak akan menerima taruhan itu, tapi aku akan terus berjuang.” Kata Cakka dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal karena lari di tempat.
-
-
-
‘Kringggg... kriiinggg...’
“Ah.. ganggu aja sih.” Gumam Oik nggak jelas.
Masih dengan mata tertutup Oik meraih jam wekker doraemon-nya yang ada di meja sebelah tempat tidurnya. Dengan malas Oik membuka matanya melihat jam berapa sekarang.
“Masih jam enam juga.” saat Oik ingin melanjutkan tidurnya kembali, samar-samar ia mendengar suara orang menghitung dari arah depan rumahnya.
“Tu... Wa.. Ga.. Pat.. tangan kaki depan belakang. Eh, salah ya?”*korbanIklan*
“Satu... Dua.. Tiga.. Empat.. Lima.. Enam... Tujuh... Delapan.. dan seterusnya” berkali-kali orang itu berteriak.
“Aduh, siapa sih tu orang. Ganggu aja. Tapi penasaran juga sih, mending liat aja.” Gumam Oik beranjak dari tempat tidurnya mendekati jendela kamarnya yang menghadap langsung ke halaman depan.
Oik menyingkap gordennya. “Itu bukannya Cakka ya? Ngapain tuh orang di depan rumah?” Oik melongo saat melihat Cakka tak ada kerjaan di depan rumahnya. “Hah.. serius dia olahraga? Gokil banget dia, bukannya dia anti banget ya sama yang gitu-gituan.” Oik menahan tawanya, cepat-cepat ia membuka jendelanya.
“Woy Kka!! Ngapain lo di depan rumah gue?” kali ini tawa Oik sudah meledak.
Di bawah sana Cakka terlihat celingak-celinguk mencari suara, sebelum akhirnya dia mendongak ke atas. Sudah ada Oik di balkon kamarnya.
“Gu.. gue lagi olahraga dong. Liat nih!” Cakka menggerak-gerakkan tangannya,
“Gue tau, gak biasanya lo.”
“Gue udah biasa olahraga kok, lo nya aja yang nggak peka.” Cakka gugup,
“Guk.. guk guk.. guk” Cakka mencari asal suara. Saat menoleh ke belakang dilihatnya Sebuah anjing.
“Anjing manis, jangan nakal yah.” Cakka nyengir ke arah anjing.
Dengan gugup Cakka pamit ke oik. “Ya udah deh Ik, gue mau jogging dulu. Dah!”
“Eh lo mau kemana...” Ucapan Oik terputus karena  Cakka sudah kabur. Padahal dia mau ikutan. “Dasar aneh.” Oik masih saja terkikik geli ternyata di belakang Cakka seekor anjing menyusul.
-
-
-
Cakka masih saja berlari di sepanjang komplek. Ia tak mau mati konyol gara-gara anjing satu itu. Nafas Cakka sudah satu-satu.
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari anjing itu.” doanya.
Akhirnya Cakka berhenti di sebuah pohon beringin yang ada di tepi jalan. Cakka masih membungkuk mengatur napasnya.
“Ambil napas buang. Ambil napas buang.” Instruksinya sendiri seperti bidan yang sedang menangani ibu-ibu mau melahirkan.

“Kak Cakka.”





Bersambung___


#hayo, siapa lo yg manggil :p tambah kesini perasaan alurnya makin ancur -_- =D makasih udah baca.

Template by:
Free Blog Templates