‘Oek, oek,oek’ akhirnya bayi itu telah terlahir ke dunia.
“Selamat ya, pak. Bayi anda laki-laki.” Ujar seorang suster.
“Makasih Tuhan, Ih unyu banget deh anak papa. Boleh saya
menggendongnya sus?” Pinta Alvin, Ayah dari bayi itu.
“Baiklah, pak.”
Senyuman lega dari semua orang yang berada di kamar itu tak
berlangsung lama sampai Sivia kembali mengaduh kesakitan.
“Auh... Dokter perut saya kenapa lagi? Sakit banget ini,”
“Sus, ayo sus. Mungkin saya anaknya kembar.” Mereka
bertindak dengan cepat, karena melihat keadaan Sivia yang semakin lemah.
Alvin memberikan bayinya kepada suster yang satunya lagi, ia
kembali mendekat ke arah Sivia untuk membantu memberikan semangat.
“Sayang, bertahan ya. Ayolah demi anak-anak kita.” Alvin
memegang sebelah tangan Sivia dan menciumnya. “Dok, lakukan yang terbaik dok
untuk istri dan anak saya.”
“Pak Alvin sebaiknya berdo’a kepada Tuhan, agar proses ini
lancar.” Ujar Suster.
‘Oek, Oek, Oek” suara
tangisan bayi kembali terdengar, menandakan anak keduanya telah lahir.
“Gimana Dok?” tanya Alvin.
“Dia sangat cantik Pak Alvin seperti ibunya. Senyumnya, dia
perempuan.”
“Coba saya ingin menggendongnya.” Ujar Alvin dengan senang.
Dokter mengalihkan bayi itu ke tangan Alvin.
“Iya bener. Siv, dia seperti kamu lho Siv.” Sivia hanya
tersenyum lemah. Namun ekspresi muka
Alvin berubah saat dirasakannya ada sesuatu yang aneh. “Lho, dok. Kenapa bayi
ini tidak bergerak seperti yang laki-laki tadi?” Tanya Alvin mulai sedikit
was-was.
“Maaf, anak bapak cacat. Dan ini tidak bisa di obati. Karena
anak bapak cacat bawaan.”
‘Jeder’
“Gak mungkin Dokter, gak mungkin anak saya cacat. Dia bukan
anak saya.” Alvin mengacak-acak rambutnya.
“Al...” Panggil Sivia lemah sambil tersenyum.
“Sivia, dia bukan anak kita kan?”
Sivia hanya menggeleng dan tersenyum. Lalu matanya tertutup,
untuk selamanya. Bunyi monitor yang menunjukkan garis lurus.
Dokter dan suster segera bertindak secepat mungkin. “Dokter
Sivia kenapa? Dok, dia kenapa dok?” Alvin terus berteriak panik.
Dokter dan suster telah melakukan yang terbaik, melakukan
semaksimal mungkin. “Kami sudah melakukan semaksimal mungkin. Maaf, Pak. Istri
anda telah tiada.”
“Sivia.........!!!!! Sayang, kamu nggak boleh pergi. Sivia
sayang, kamu hanya tidur kan? Iya, kamu cuman tidur. Hahaha” Setelah
terdiam,Alvin beralih kepada kedua bayinya, dan ia memandang Putrinya dengan
mata menyala-nyala penuh amarah. Alvin menghampirinya, “Ini semua pasti
gara-gara kamu! anak cacat! Kamu harus bertanggung jawab, Sivia istriku mati
gara-gara kamu!!”
Sebagai seorang pengusaha ternama, Alvin pastinya malu
mempunyai anak cacat. Jadi apapun bakalan ia perbuat demi menjaga
kehormatannya.
10 Tahun kemudian
“hiks, hiks... ampun Pa, ampun. Oik nggak bersalah Pa,
enggak. Ampun Pa,” Mohon seorang anak perempun.
Alvin menyeretnya masuk ke dalam kamar mandi. “Kenapa sih,
kamu selalu aja bikin masalah!! Mama kamu mati, itu semua gara-gara kamu! iya
kan? Lalu sekarang kamu mau merusak pesta Ulang Tahun kakakmu, Cakka? Iya,
Jawab!!!” Alvin terus mengguyur Oik dengan air, ia menjambak rambut Oik,
“Denger ya, ini akibat kamu keluar dari kamar!” Alvin menoyornya.
“Pa, tapi Oik pingin ikut pesatanya kak Cakka. Ini juga hari
Ulang Tahun Oik, pa” Oik terus menangis. Gaun pestanya sudah basah kuyup,
“Mbok!!!!”
“Iya Tuan,”
“Kamu pembantu apaan sih? Disuruh jaga anak kecil aja gak
becus! Sekarang biarkan dia di situ! Jangan kasih makan, salahnya sendiri!”
Setelah itu Alvin meninggalkan tempat itu.
“Non Oik, “ Simbok masuk ke kamar mandi dan langsung
menghambur ke dalam pelukan Oik. “Non, non kenapa bisa begini?” tanya Simbok.
“mbok, kenapa papa benci banget sama Oik? Papa nggak sayang
sama Oik. Apa Oik bukan anak papa?” Tanya Oik di sela-sela tangisnya.
“Sttt.. non nggak boleh ngomong seperti itu. Tuan Alvin itu,
papa non Oik sama den Cakka.”
“Mbok maafin Oik ya, karna udah bandel. Nggak mau dengerin
nasihat mbok buat nggak turun.”
“Itu bukan salah non Oik kok, lagian non itu juga berhak
berada di bawah, dan ikut pesta bareng den Cakka dan teman-temannya.” Simbok
mengusap-usap rambut Oik.
“Tapi temen-temen kak Cakka pada ngejek Oik,”
“Ya sudahlah. Non jangan nangis terus, senyum. Happy
Birthday non Oik.” Ujar simbok.
“Makasih ya mbok, J”
“Ayo, non kita balik aja ke kamar. Bibi bantu berdiri.”
Simbok membantu berdiri Oik, setelah bisa berdiri tegap,
barulah ia memberikan kruk itu pada Oik.
-Keesokan Harinya-
“Kak Cakka, kakak mau kemana?” tanya Oik di pagi hari itu.
“Kakak mau ke luar negeri,” Ujar Cakka sambil tersenyum.
“Oik ikut ya kak?” minta Oik.
“Iya, Oik ikut kok.” Cakka mengacak rambut adeknya.
“Oik mau minta kado apa dari kaka?” tanya Cakka.
“Oik pingin kotak musik, kak” J
“Ya sudah, nanti kakak beliin.”
Waktu Cakka dan Oik sedang asyik-asyiknya bermain di ruang
tamu, tiba-tiba saja Alvin datang.
“Cakka ayo kita pergi sekarang!”
“Iya, Pa.”
“Pa, Oik ikut kan?” tanya Oik berharap.
“Kamu? kamu di sinilah!” Uajr Alvin kasar.
“Tapi, pa? Bukannya kita mau tinggal di luar negeri lama?
Masak kita ninggalin Oik sih?” tanya Cakka.
“Cakka, kamu kan mau sekolah di sana. Kalau ada dia, pasti
semuanya berantakan.” Alvin berubah menjadi lembut saat berbicara dengan Cakka.
“Pa, Oik ikut. Oik nggak mau di sini sendirian, Oik mau ikut
Kak Cakka.”
“Ya sudah sekarang kamu ke atas dulu!”
Mata Oik berubah menjadi berbinar-binar.
“Beneran pa?” Alvin hanya mengangguk, Dengan rian Oik pun
naik ke atas dibantu dengan kruk yang hanya sebelah itu.
“Pak Min, sudah siap semuanya? Kita berangkat sekarang, Oh
ya, ini ada uang. Tolong kamu beri rumah, aku titip Oik di situ. Jangan pernah
pernah pake rumah ini! Pokoknya jangan sampai ada yang mengetahui rumah itu.
hanya kamu saja!”
Alvin menuju ke mobilnya diikuti Cakka dibelakangnya. “Lho,
Pa. Kita Oiknya dulu dong. Tadi katanya Oik juga ikut?” tanya Cakka
memberhentikan langkahnya.
“Kelamaan. Kita sudah ditunggu pesawat Cakka. Kamu nggak mau
kan? Ntar papa beliin semuanya deh.”
Saat mendengar deru mobil, Oik tertegun. Oik langsung turun
ke bawah. Mencoba secepat mungkin berjalan,
“Kak Cakka!!! Papa!” namun saat sudah berada di depan Alvin
dan Cakka sudah berada di dalam mobil, “Pa, kak Cakka!” Oik terus berlari
dengan airmatanya yang berlinang, namun ia di tahan Pak min. Sampai mobil itu
melesat.
“Pak min, kenapa mereka ninggalin Oik?”
“Non, ikut bapak ya. Kita beli mainan yang banyak.”
“Nggak Pak, Oik maunya sama Kak Cakka.”
“Ayo! Cepetan!” Pak min berubah menjadi kasar.
“Min, mau dibawa ke mana non Oik.?” Tanya Simbok.
“Diem aja loe!”
***
10 tahun kemudian
Di sebuah sanggar lukis, di situ banyak sekali
Lukisan-lukisan yang cantik dan indah. Sepertinya sang pelukis penuh dengan
cintanya saat melukis, sehingga mampu melahirkan karya seindah ini. Tak lupa di
bawahnya tertulis nama –Oi’ CS-
Di sudut lain sanggar itu, seorang gadis tengah duduk di
tempat seperti padepokan, ia tengah melukis. Tiba-tiba saja dari belakang ada
yang menutupi matanya.
“Hayo tebak, coba!”
“Ini siapa? Obiet?” saat tangannya menyentuh tangan orang
yang menutupinya, “Acha?”
“Ya, ketahuan deh.” Gadis itu melepaskan tangannya. “Kamu
tahu nggak, Ik? Aku punya kejutan lho buat kamu, dan sanggar ini.” Acha
tersenyum misterius.
“Kejutan apa, Cha?” tanya Oik mengernyitkan dahinya.
“Mau tahu? Apa ya?”
“Iya, ih Acha nyebelin banget deh. ayo cepetan!”
“Iya, iya. Sanggar kita direkomendasikan untuk mengikuti
pameran! Yeeyyyyy!!!” Dengan hebohnya Acha menjelaskannya.
Oik masih saja mematung tak habis pikir, “Masak?’
“Iya beneran. Dan semua lukisannya adalah lukisan kamu, Oik
CS.”
“Yeyy... akhirnya Cha, sumpah aku nggak percaya.” Acha dan
Oik pelukan.
Tiba-tiba saja seseorang datang. “Woy, pada ngomongin apa
kalian?” Orang itu langsung mengambil alih duduk di dekat Oik.”
“Eh, Obiet, ngagetin aja. Itu sih Oik mau ikut pameran.”
Acha melirik Oik dengan senyum menggoda, sedangkan Oik yang dilirik begitu
hanya tersenyum malu-malu.
“Wah, selamat Ik. Kalau begitu J”
“Oh ya, ini kan sudah sore. Pulang sekarang aja yuk.” Ajak
Oik.
Acha dan Obiet hanya mengangguk, dan mereka semua merapikan
tempat itu.
Mereka bertiga berbeda jurusan pulang. Setelah salam
perpisahan, kini giliran Oik sendiri berjalan, dan ia menengak-nengok untuk
melihat jalan. Dengan kedua tangan kirinya membawa map dan tas, sedangkan
tangan kanannya memegang kruknya.
Saat Oik akan menyeberang tiba-tiba saja ada sebuah truk
yang melaju dengan cepat dari arah kanan.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaa............!!!!”
‘Bruuukk’
Suara sirene ambulance memenuhi koridor rumah sakit. Dengan
gerakan Cepat sang suster membawa korban kecelakaan ke dalam memasuki UGD.
“Dok, tolong selamatkan anak itu dok. Berapapun biayanya
dok,” Ujar sang sopir.
“Iya, Pak. Bapak berdo’a saja. Permisi”
Karena di kepala Oik mengalami pendarahan, akhirnya Dokter
menyarankan untuk melakukan operasi besar di otaknya.
Dokter dan suster masih saja bekerja keras untuk melalukan
operasi itu.
Oik selamat dan kini
masih berada di ruang ICU karna dia belum juga sadar.
“Gimana Pak, keadaan teman saya?” tanya seorang gadis.
“Teman kamu masih di ruang ICU.” Acha segera kemari setelah
tadi ia dihubungi oleh pihak rumah sakit yang menemukan no. Acha di HP Oik.
Karena keajaiban Tuhan, Oik kini sudah bekerja seperti
biasanya. Tapi keadaannya masih harus dipanatau. Kadang Acha atau Obiet
mengantarnya chek up, kadang juga ia sendiri.
Saat Oik pulang ke rumah, seperti biasanya. Bau alkohol menyambutnya.
“eh, loe udah pulang. Gue minta uangnya lagi.”
“Lho, bukannya bulan kemarin Papa udah ngirim uang?” tanya
Oik memprotes.
“Loe begok atau apa sih? Ya jelas kuranglah, uang kemarin
itu habis juga gara-gara loe bocah sialan.!” Ujar Pak Min dengan keadaan
mabuknya. Namun Oik tak menghiraukannya, ia segera pergi dari tempat itu dan
menuju ke kamarnya.
“Shit..” maki Pak Min.
Begitulah keseharian yang dilakukan Pak Min, uang kiriman
dari Alvin disalah gunakannya hanya untuk berjudi dan minum-minuman. Untungnya
Oik masih punya sanggarnya, dan beberapa perabotan rumah tangga sudah terjual
untuk melunasi hutang-hutang hasil berjudi itu.
***
Rumah yang berdiri kokoh dan mega di hadapannya itu kini
terlihat sepi. Seorang Pria keluar dari mobil sportnya dengan menenteng tas di
punggung dan koper.
‘ting,tong,ting,tong’
Tak lama kemudian pintu itu terbuka, muncul wanita paruh
baya dari dalam. Sesaat wanita itu tertegun.
“Mbok,”
“Den Cakka.... ini beneran den Cakka?” tanya wanita yang
dipanggil simbok itu tak percaya.
“Iya, mbok. Ini Cakka. J”
Wanita tadi langsung menghambur ke pelukan Cakka.
“Aden kapan pulang? Kok nggak kasih kabar sama mbok? Mbok
kangen tahu sama aden.” Simbok menangis bahagia.
“Cakka juga kangen sama simbok, sama Oik juga.” Ujar Cakka,
“Lho, Oik mana mbok? Ada di dalam ya?” pertanyaan Cakka membuat simbok diam,
“Maaf, den. Simbok nggak bisa tahan non Oik di sini, Pak
Min, membawanya entah kemana.” Ujar simbok lesu.
“Sejak kapan mbok?” tanya Cakka lagi, kini senyumnya sudah
menghilang. Hanya kekhawatiran seorang kakak yang kini menghiasi wajahnya.
“Sejak setelah kepergian Tuan dan Aden pergi waktu sepuluh
tahun yang lalu.”
“Simbok tahu nggak? Alamat rumah Pak min?”
“Pak Min, sudah tak tinggal lagi di rumahnya yang dulu. Dan
sampe sekarang simbok nggak ketemu mereka lagi.
Oik masih menata lukisan-lukisan itu di dinding saat
seseorang bertanya, “Mbak, apakah lukisan ini di jual?” tanya orang itu. lebih
tepatnya Pria itu.
“Iya, mas. Bentar,” karna letak pakunya terlalu tinggi, maka
Oik harus berjinjit dengan sebelah kakinya, itu sudah kebiasaan Oik namun kali
ini keseimbangannya sedikit kurang yang membuat ia jatuh. “Aaa...”
‘Hap’
Oik jatuh dalam pelukan Pria itu. Saat Oik membuka matanya,
matanya bertatapan langsung dengan mata dihadapannya. Dan kini hati Oik
merasakan desiran, ia tersadar.
“Eh, maaf. J”
Oik menjauh dan mengambil kruknya.
“Iya, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati ya.” Pria itu
berumur sekitar 20an sama seperti Oik, dengan potongan rambutnya yang menambah
ketampanannnya. “Oh, ya. Lukisan ini dijual nggak?” tanyanya.
“Sebenarnya sih...”
“Dijual kok, iya nggak Ik?” tiba-tiba Acha muncul sambil
membawa beberapa lukisan lagi. “Udah jangan malu-malu, itu pelanggan pertama
kita Lho.” Bisik Acha sambil terkikik. Kemudian ia tersenyum kepada
pelanggannya. “Ya udah kalian ngomongin dulu deh, gue mau naruh ini.” Setelah
pamit, Acha pun pergi.
Setelah bernego, akhirnya lukisan itu kini menjadi milik
Cakka. Cakka tersenyum dengan puas ketika memajang lukisan itu di dinding rumah
yang telah ditinggalnya lama.
“Beres. Eh, tunggu. Kok seperti ada yang kurang ya?” Cakka
mencoba mengingat-ingat kembali.”Ah, iya. Gue belum kenalan sama tuh cewek.
Tadi temennya manggil Ik, ik siapa ya? Apa Oik? Oik juga suka melukis. Ah
udahlah, besok mending ke sana lagi.”
“Ekhm...” Deheman itu mengagetkan Cakka dari gumamannya.
“Eh, Papa. J
gimana Pa, sama perusahannya?” tanya Cakka dengan senyuman mengembang.
“Baik, lancar-lancar saja. Kamu sudah siap Kka? Buat gabung
di perusahaan.”
“aku usahain. J”
Cakka,
“Hahahaa...” Mereka tertawa bersama. “Udah sana tidur. Udah
malam.”
“Siap Boss” Cakka hormat, seperti saat upacara.
***
Oik kini sudah tidak melakukan chek up lagi ke Rumah Sakit,
karena ia tak mampu untuk membiayainya.
Akhir-akhir ini Oik mimisan kalau ia mengalami kecapean.
Seperti saat ini, Oik mengusap hidungnya menggunakan tissue,
“Oik, kamu kenapa?” Tanya Acha khawatir saat melihat Oik
mimisan.
Oik mendongak dan tersenyum, “Enggak apa-apa Cha, mungkin
aku kecapean aja.”
Acha mengambil alih kuas Oik, “Biar kamu lanjutin besok aja
ya. Mending kamu pulang aja gih, terus istirahat.” Acha mengemasi perlengkapan
lukis Oik. Oik hanya mengangguk.
“Mau aku yang nganter, apa Obiet?” tanya Acha.
“Aku bisa pulang sendiri kok, Cha. Kamu sama Obiet jaga di
sini aja,” Oik meraih tas dan
tongkatnya, “Aku pulang duluan ya, Cha.”
“Iya, hati-hati ya Ik!”
Tak lama setelah Oik
pergi, Cakka datang. Acha menoleh dan tersenyum.
“Eh, mas yang kemarin ya?” tanya Acha.
“Iya. Eh....”
“Mau cari Oik ya? Oiknya baru aja pulang tuh,”
‘Tapi dia Oik bukan yah?’ Cakka mengernyit. “Oh, ya sudah.
Kalau gitu besok aku ke sini lagi aja,”
***
Akhirnya Cakka ketemu juga dengan Oik. Cakka menunggu sampai
Oik selesai bekerja, kadang ia membantu di sanggar itu.
“Kamu sejak kapan suka sama melukis?” tanya Cakka waktu
mereka duduk-duduk di taman dekat sanggar.
“Aku juga nggak tahu, dari kecil aku sudah suka melukis. Entah
mengapa, aku selalu ingin melakukannya.”
“Aku jadi ingat saudara kembarku. Tapi aku sudah lama tidak
bertemu dengannya. Apa kamu Oik...” Ucapan Cakka menggantung.
“Kak Cakka?”
“Oik?” mereka berdua saling menatap dengan kerinduan di dua
bola matanya.
Cakka memeluk Oik sangat erat, seolah-olah ia tak ingin
melepaskannya. Mereka berdua larut dalam kerinduan itu.
“Gimana kabarnya papa, kak?” tanya Oik.
“Kenapa kamu masih mengingatnya, Ik?” tanya Cakka heran.
“Ya, bagaimana pun juga dia kan papa aku.”
‘Kakak bangga Ik, sama kamu. walaupun papa sudah berbuat
buruk sama kamu, tapi kamu masih mau menganggap papa sebagai orangtua kamu.’
***
“Pa, aku sudah bertemu sama Oik. Dia tumbuh jadi gadis
cantik Pa, dia melukis di sanggarnya. Apa papa nggak mau ngajak Oik tinggal di
sini lagi sama kita?” Cakka berkata penuh binar.
“Kamu jangan merusak suasana papa deh, Kka” Alvin melengos.
“Tapi pa,..”
“Kamu mending siap-siap gih sana! Papa mau ngenalin kamu
sama teman lama Papa.”
Dengan ogah-ogahan Cakka menuruti perintah Papanya.
“Wah, anakmu sekarang sudah besar ya Vin.”
“Iya, dia cakep lagi. Kamu kasih makan apa dia? kok bisa
kayak gini. hahaha...”
“Iya dong, siapa dulu papanya. Alvin Sindunata.” Alvin
menyombongkan dirinya.
“Namamu siapa nak?”
“Cakka tante,”
Sepanjang malam ini, Cakka tak bisa berkonsentrasi dengan
acara makan malam itu. Pikiran Cakka hanya tertuju kepada Oik, sudah makankah
dia? Rahang Cakka mengeras, saat tadi ia bertemu dengan Pak Min, di rumah itu
disulap menjadi tempat perjudian.
***
Pagi hari saat Oik akan berangkat, tiba-tiba saja langkahnya
di stop Pak Min.
“Eh, cewek sialan. Kenapa loe nggak bilang-bilang kalau
Bapak loe itu sudah pulang! Kalau gitu kan, loe bisa minta uang ke dia. dengan
alasan, loe lagi butuh buat biaya loe!” Pak Min memaki Oik.
Oik hanya menunduk. “Oik nggak mau ngerepotin Papa sama Kak
Cakka, Pak.”
“Loe bener-bener anak sialan ya! Pantes bapak loe nggak mau
ngakuin loe! dasar cacat, sukanya nyusahin orang saja.”
‘Plaakkk.’ Satu tamparan mengenai pipi mulus Oik,
Oik memegangi pipinya, di mulutnya sudah keluar darah.
Tiba-tiba saja ia merasakan kesakitan di bagian kepalanya. Namun Pak Min tidak
berhenti untuk menganiaya Oik.
Seketika Oik kehilangan kesadaran dan dirinya ambruk.
‘Hap’
Tepat saat itu seseorang menangkapnya. “Eh, loe apain adek
gue!”
“Den Cakka, eh non Oik
tadi bandel,”
“Alah, nggak usah ngibul deh loe. Awas aja loe kalau sampai
terjadi apa-apa sama dia. tunggu balesan gue!”
Cakka langsung membopong Oik menuju ke mobilnya. Dia melesat
menuju ke RS.
Cakka duduk di hadapan Dokter, dokter itu bernama Rio.
“Gimana keadaan adek saya, Dok?” tanya Cakka.
“Kami belum bisa mendiagnosa apapun. Mungkin itu akibat dari
Operasi Otak yang pernah di jalani Oik.”
“Apa, Dok? Operasi Otak?”
“Iya, Oik dulu pernah mengalami kecelakaan, korban tabrakan.
Tapi setelah itu, dia hanya chek up beberapa kali saja. Orangtuanya yang
menandatangani pemeriksaan itu, karena ia tak punya biaya.”
“Maksud anda itu Pak Min? Dia bukan orangtua kami, dia
sopir.”
“Dan sepertinya Oik harus menginap di sini untuk melakukan
beberapa tahap tes.”
“tolong lakukan yang terbaik dok untuk adek saya! Berapapun
biayanya” Mohon Cakka.
“Baiklah Cakka. Kami akan usahakan.”
“Makasih dokter,”
Cakka keluar dari ruang dokter.
Sesampainya di rumah itu, Cakka langsung menggebrak pintu,
sampai pintu itu jebol. Dengan emosi yang meluap-luap.
“Amin!!! Keluar loe sini!” Teriak Cakka. “Amin.....!!!!”
Amin yang sedang bermain judi dan di sampingnya ada seorang
wanita langsung berdiri. “Aden? Ada apa ya?” tanyanya sok polos.
“Alah, nggak usah sok polos segala deh loe.” Cakka
mencengkram kerah baju Amin, “Kenapa loe nggak bilang ke Papa kalau Oik
kecelakaan! Dan pernah melakukan operasi besar pada otaknya. Jawab!! Kemanain
uang yang tiap bulan Papa kirim, loe embat buat kayak ginian hah?!!” Cakka
menonjok muka Pak Amin.
“Pergi loe semua!!! Inget ya, ini bukan rumah perjudian!!”
Cakka mengusir semua orang yang ada di situ. Dan menendang kursi dengan keras,
matanya penuh dengan kemarahan.
Semua orang lari terbirit-birit dan ketakutan. Cakka
melayangkan tinjunya ke Amin berkali-kali, sampai Polisi datang dan menangkap
Amin.
Setelah semua urusan beres, Cakka kembali ke rumah sakit
untuk menemani Oik.
“Dek, bangun dong. Jangan tinggalin kakak... Katanya mau
kado Ulang Tahun dari kakak?” Sebutir air mulai turun dari matanya. “Maafin
kakak sama Papa ya,”
Tiba-tiba saja tangan Oik bergerak, matanya mengerjap.
“Oik, kamu sadar?” tanya Cakka sedikit senang.
“A..aku dimana kak?” Oik memandang kesekelilingnya.
“Kamu ada di rumah sakit. Udah kamu istirahat dulu, biar
kakak panggilin dokter.”
Cakka berlari keluar, tak lama kemudian Dokter Rio dan
suster datang untuk mengecek keadaan Oik.
“Kamu sudah baikan Oik?” tanya dokter.
“Udah dok, kira-kira kapan aku pulang ya?” tanya Oik.
“Kamu harus menginap dulu untuk melakukan ronsen. Jaga
kesehatan kamu ya, jangan terlalu capek.”
Oik hanya mengangguk tersenyum lemah.
***
Setelah selesai melakukan berbagai tahap pemeriksaan, Oik
sudah di bolehkan pulang. Tapi Oik kini pulang ke rumahnya yang dulu, betapa
rindunya Oik.
“Kak, makasih ya.” Ujar Oik.
“Kamu nggak usah sungkan gitu.” Saat ini mereka duduk di
teras depan rumah. “Oh, ya. Tunggu sebentar, aku punya sesuatu.” Cakka masuk ke
dalam rumah, dan kembali dengan membawa sekotak benda dengan kertas kado
menyelimutinya.
“Ini buat kamu.” Cakka mengangsurkan kotak itu,
“Ini apa?”
“Udah buka aja!”
“Ya udah deh aku buka.” Oik membuka kertas kado, dan membuka
kotaan itu. Sebuah benda berbentuk hati berwarna merah kini sudah berada di
tangannya. “Wah... bagus banget, kakak masih ingat sama ini?” tanya Oik tak
percaya.
“Iya dong. Itu kan permintaan dari adekku tercinta :D” Cakka
tersenyum. Dia senang melihat Oik bahagia.
Oik membuka kotak musik itu. terdengar sebuah nada yang
biasa dipakai untuk tarian balet mengalun, dan seorang balerina menari-nari di
atas kotak tersebut.
“Makasih ya buat kadonya. Aduh, Oik jadi bingung nih mau
kasih kado apa?”
“Nggak usah juga nggak apa-apa. Oh, ya Ik. Aku punya teman
di USA, mereka kakak beradik kembar. Namanya Ray sama Ozy. Gokil banget deh
mereka berdua. Ray itu adiknya. Kata mereka, anak kembar itu yang jadi kakak
sebenarnya yang keluar terakhir bukan yang pertama, karena dia tidak mau membiarkan
adiknya terluka, merasakan sesak lebih lama di dalam kandungan, maka dia akan
mengorbankan agar adiknya lahir duluan. Seperti kamu Oik, kamu dari dulu selalu
melindungi aku, selalu menjagaku dari marahan Papa karena aku bandel, jadi yang
lebih pantas jadi kakak itu kamu.” Cakka mengacak rambut Oik.
Oik meneteskan airmatanya saat mendengar cerita Cakka. Lalu
Cakka memeluknya. “Kak Cakka juga, selalu ngebela Oik.” J
***
“ada Tumor yang tumbuh di kepala Oik.”
“Apa ini gara-gara operasi itu dok?” tanya Cakka was-was.
“Bisa jadi begitu. Tumor yang diderita Oik tumbuh dengan
pesat, dan kita harus melakukan operasi secepat mungkin. Agar tumornya tidak
menyebar.”
“Lakukanlah dok,”
“Tapi sayang, karna tumor Oik sudah menyebar keseluruh
otaknya. Kalaupun operasi harapan hidupnya sangat tipis. Kami sudah tidak
melakukan apa-apa. Hanya obat-obatan yang bisa menghambat pertumbuhannya, tapi
bukan menghilangkannya.” Dokter menghela napas. “Seharusnya waktu Oik pertama
mimisan, ia segera di bawa ke sini.”
Dokter Rio menepuk pundak Cakka. “Berdoalah, agar Tuhan
memberikan keajaiban kembali pada dirinya.”
Namun keadaan Oik bukannya membaik kini malah memburuk. Oik
sudah tahu tentang penyakitnya itu, dan Oik akan menyelesaikan projeknya
secepat mungkin.
Oik terus menggerak-nggerakkan kuasnya di atas kanvas dengan
hati-hati dan sangat mendetail. Ia tidak mau terjadi kesalahan sedikit pun
dengan lukisannya kali ini. Mungkin lukisan ini akan menjadi lukisan
terakhirnya.
“Oik... Ik,”
Seseorang memanggilnya. Dan Oik harus segera menutupi
lukisannya.
“Kamu di sini? Aku cariin kemana-mana juga. ayo kita makan
malam.” Ajak Cakka. Sesaat Cakka melirik ke arah lukisan yang tertutup kain. Ia
memikirkannya.
“Ayo”
Oik berpapasan dengan Papanya. “Pa, ayo makan.” Ajak Cakka.
Oik hanya mencoba untuk tersenyum kepada Papanya.
“Kalian dulu saja.” Ujar Papanya. Namun Alvin hanya diam
saat melihat ke arah Oik.
Alvin semakin menyibukkan diri dengan pekerjaannya, sejak
Oik tinggal di situ. Ia rindu dengan Sivia.
Malam ini Oik lembur lagi, sampai ia kembali mimisan. Saat
Oik menunduk ingin mengambil warna merah, darah dari hidungnya mengalir dan
jatuh menetes ke wadah cat. Oik tak sadar kalau yang digunakannya untuk
mengecet itu darahnya bukan cat merah.
Oik terus memaksakan dirinya untuk terus melukis, ia sangat
berharap lukisan itu akan segera terselesaikan sebelum waktunya tiba. Yang
hanya menghitung hari lagi. Fikirnya.
Oik kesal sendiri saat ia tak pernah bisa untuk melukis
seseorang yang sangat ia cintai dan kagumi, namun ia tak pernah bisa
menggambarnya. Ia sangat berhati-hati untuk menggambar orang itu, pokoknya
harus perfect.
Oik menutupi kembali lukisan belum jadinya dengan kain. Dan
keluar dari ruangan itu untuk menuju ke kamarnya. Namun lagi-lagi ia bertemu
dengan Papanya. Kali ini tak ada Cakka di sampingnya.
Oik menunduk, tak berani menatap sosok itu.
“Belum tidur?” sapanya. Walaupun singkat dan masih terdengar
dingin, namun Oik sangat senang. Oik langsung mendongak dengan hati-hati.
“Belum,... Pa. Pa.. Papa belum tidur?” tanya Oik sedikit
terbata karena gugup.
“Nanti. Kamu tidur sana, sudah malam.”
“Iya, Pa.”
Sepanjang malam itu Oik terus tersenyum, karena ia bahagia.
Papanya menyapa dirinya, hal yang sangat mustahil.
***
Sudah satu bulan dan lukisan itu akhirnya sudah jadi dengan
sangat puas Oik memandangnya. Oik menutupinya, saat mau melangkah, pandangan
Oik kabur.... keringat sangat deras mengucur di dahinya. Rasa sakit itu kini
hadir kembali, dan ia mimisan. Oik mengusap hidungnya yang berdarah.
Sesaat semuanya berubah menjadi gelap.
Suara ambulance lagi-lagi memenuhi koridor rumah sakit,
beberapa suster dan dokter bergerak cepat.
Cakka terus memegangi tangan Oik. “Oik, jangan tinggalin
kakak. Bangun, Ik!”
Cakka ditahan oleh suster. “Maaf, mas. Tolong tunggu di
luar.”
“Tapi, sus. Saya kakaknya.” Cakka memberontak.
“Iya. Tapi sebaiknya anda tunggu di luar. Kami akan
melakukan yang terbaik.” Cakka pun mengalah,
Cakka terlihat sibuk mencari nomor Papanya dan ia
menghubunginya. “Shit!” Cakka menggeram saat operator telepon yang berbicara.
“Papa kemana sih? Anaknya lagi sekarat juga. Bisnis terus!!”
Cakka mengacak rambutnya frustasi.
“Saat ini keadaan Oik sudah sangat parah, padahal kemarin
kesehatannya sudah membaik.” Ujar Dokter Rio.
“Iya, dok. Saya juga sempat merasakan itu.”
“Orangtua kamu kemana?” tanya dokter lagi.
“Taulah dok, anak lagi sekarat yang di urus cuman bisnis.”
“Tolong hubungi orangtuamu tentang keadaan adikmu.” Dokter
Rio menyarankan,
Cakka memasuki ruang rawat inap Oik dengan menggunakan baju
steril. Oik kini sudah sadar, gadis itu sedang memandang keluar jendela
dipangkuannya ada kotak musik yang masih di putar.
“Oik,”
“Kak Cakka?”
“Iya, ini aku, Ik. Kamu sudah mendingan kan? Aku suapin
makan ya?” tawar Cakka.
“Nggak ah, Oik nggak mau.” Oik menggeleng. “Kak, Oik sayang
Kakak. “
“Iya, Ik. Kakak juga sayang sama kamu.” Cakka tersenyum,
walau hatinya pedih melihat keadaan Oik.
“Oik sayang sama Papa.” Ucap Oik lirih.
Walaupun Cakka masih bisa mendengarnya, ia tak bisa menjawab
apa-apa.
Cakka menyeka airmatanya. “Ik, kakak suapin ya.” Cakka
mengalihkan perhatian.
“Oik pingin di peluk Papa, Oik juga pingin di cium papa.”
Oik terus berkata dengan lirih.
“Iya, Oik. Iya.”
Oik menoleh ke arah Cakka, ia mengusap airmata Cakka. “Kak
Cakka, kenapa nangis? Yah.. gantengnya ilang deh J”
dalam keadaan kayak gini, Oik masih bisa melawak.
“Kakak nggak nangis kok, tadi kelilipan.” Ujar Cakka ikutan
tersenyum.
Namun senyum Oik menghilang, “Kenapa Papa selalu menyalahkan
Oik? Apa gara-gara Oik cacat? Atau karna mama meninggal karna melahirkan Oik?
Kalau gitu tadinya Oik nggak usah lahir aja sekalian kak, biar mama masih terus
hidup diantara kalian dan Papa tersenyum kembali. Kalau hidup Oik hanya beban
bagi Papa, Oik nggak dilahirkan. Oik sayang sama Papa, sama Kak Cakka.”
Cakka hanya bisa memeluk Oik di sela, tangisnya. Oik
tertidur dalam pelukan Cakka. Cakka mengecup keningnya dan membaringkan Oik.
“Kakak juga nggak mau gini, Ik. Kakak juga akan memilih seperti kamu kalau
akhirnya Papa kayak gitu. Kalau kamu nggak lahir, mending kakak juga nggak usah
lahir. Ini semua bukan salah kamu, tapi salah Papa.”
Cakka mengambil kotak musik itu dan menaruhnya di atas meja.
Cakkka membiarkan kotak musik itu terbuka, dengan balerina yang terus menari
dan lagu yang diulang-ulang.
Cakka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Sesampainya di Kantor papanya, semua pegawai memberinya hormat. Namun hormat
itu tak ia hiraukan, Cakka terus berjalan.
“Maaf Pak Cakka, Pak Alvinnya sedang ada rapat di dalam.”
Ujar sekertaris Alvin.
“Panggil Pak Alvin sekarang juga,”
“Tapi Pak..”
“Ah udahlah biar saya saja!!” Cakka membuka pintu rapat
dengan kasar. Semua orang menoleh padanya, terutama Alvin. Yang terlihat malu
sama kliennya.
“Maaf, Pak Alvin. Pak Cakkanya terus ngotot.” Ujar
sekertaris tadi.
Alvin menghampiri Cakka. “Ya udah. Kamu apa-apaan sih?”
“Oh, jadi papa nyalahin Cakka. Seharusnya Cakka yang marah
sama Papa, Papa apa-apaan sih? Anaknya lagi sekarat juga, masih aja yang nompr
satu Perusahaan. Aku kecewa Pa, sama Papa.”
“Cakka, ini semua juga buat kamu nak.” Alvin mencoba lembut,
“Tapi ini bukan buat Oik Papa!” Bentak Cakka. “Aku nggak
butuh semua ini, kalau akhirnya Oik kesakitan. Dari awal aku nggak mau ikut
sama Papa pergi ke USA. Ini semua salah Papa, Oik jadi kayak gini!!”
“Cakka kamu dengar Papa, Papa yang lebih sakit. Mama kamu
meninggal karna dia!”
“Itu semua bukan Salah Oik Pa, tapi takdir yang membuat mama
meninggal. Papa kecewa kan karna Oik cacat? Papa malu punya anak cacat!!” Tegas
Cakka,
Sedangkan di kamar Oik, gadis itu masih saja tidur. Wajahnya
terlihat damai, suara monitor yang beradu dengan lagu dari kotak musik terus
mengalun. Namun tiba-tiba saja angin berhembus dan kotak musik itu tertutup,
diiringi bunyian panjang dari monitor detak jantung Oik. Menandakan juga telah
tertutupnya mata gadis itu untuk selama-lamanya.
Di sepanjang koridor Rumah Sakit terdengar derap langkah
panjang-panjang. Mereka semua bergerak dengan cepat.
Terlihat Cakka sedang duduk di bangku dengan menunduk.
“Gimana Kka, dengan keadaan Oik?” tanya Alvin.
Cakka mendongak, menatapnya penuh menyala. “Merasa bersalah,
Pa?” sindir Cakka yang masih terduduk.
“Maafin, Papa nak. Papa baru tersadar.”
“Memang. Memang orang-orang tak salah, penyesalan selalu
datang belakangan. Kenapa nggak dari dulu Papa gini? Oik nggak harus menderita
terlebih dahulu kan?”
“Maafin Papa. Oik gimana?”
“Lihat aja di dalem.” Cakka berdiri dan melangkah pergi.
Alvin masuk ke dalam ruangan, di dapatinya suster yang masih
membersihkan alat-alat medis yang menempel di tubuh Oik.
“O... Oik... Suster, apa itu Oik anak saya?” tanya Alvin.
“Iya, Pak. Ini Oik.” Suster tersebut pergi.
“Oik... maafin papa nak. Maaf untuk selama ini, Papa baru
sadar. Kamu lebih berharga dari apapun, terutama bisnis. Papa baru sadar kenapa
mamamu lebih memilih untuk melahirkanmu daripada membunuhmu. Maafin papa
sayang.”
Setelah pemakaman. Cakka memasuki ruangan melukis Oik, ia
masih penasaran dengan apa yang di lukis Oik selama ini.
Cakka membuka kain, betapa cantiknya lukisan itu. Oik kecil
yang memegang kotak musik, namun di situ tidak ada lagi tongkatnya. Oik diapit
dirinya dan Papanya, dengan sayap dipunggung.
Hari ini Cakka diresmikan bekerja di perusahaan
Papanya. Tak ada lagi amarah dan dendam.
Papanya kini sudah mau menerima Oik sebagai anaknya walaupun terlambat.
Kini dihadapan semua client-clietn penting dan pegawainya,
dan beberapa wartawan dari stasiun TV terkenal turut hadir. Alvin memperlihatkan sebuah lukisan yang
sempurna itu. lukisan dengan disampingnya bertuliskan –sayang Papa, Kak Cakka-
Dengan bangga, Alvin menceritakan tentang Oik. “Dan inilah
karya terakhir Oik, anak saya.” Airmata Alvin turun dengan cepat ia menghapus,
digantikan dengan senyuman. “Saya tegaskan kembali, anak saya bukan hanya Cakka
Sindunata, tapi juga Oik Sindunata. Selamat tinggal Oik, Kami semua sayang sama
kamu.” Cakka ikutan tersenyum di samping papanya, sesekali menghapus
airmatanya.
Semua yang hadir di ruang rapat itu juga ikut tersenyum, dan
sesekali ikutan menghapus airmata yang mengalir. Sorotan kamera, dan beberapa blitz
foto menyorotnya, Cakka dan Alvin.
SELESAI