Minggu, 23 Desember 2012

Lukisan Cinta Oik -Cerpen-




‘Oek, oek,oek’ akhirnya bayi itu telah terlahir ke dunia.
“Selamat ya, pak. Bayi anda laki-laki.” Ujar seorang suster.
“Makasih Tuhan, Ih unyu banget deh anak papa. Boleh saya menggendongnya sus?” Pinta Alvin, Ayah dari bayi itu.
“Baiklah, pak.”
Senyuman lega dari semua orang yang berada di kamar itu tak berlangsung lama sampai Sivia kembali mengaduh kesakitan.
“Auh... Dokter perut saya kenapa lagi? Sakit banget ini,”
“Sus, ayo sus. Mungkin saya anaknya kembar.” Mereka bertindak dengan cepat, karena melihat keadaan Sivia yang semakin lemah.
Alvin memberikan bayinya kepada suster yang satunya lagi, ia kembali mendekat ke arah Sivia untuk membantu memberikan semangat.
“Sayang, bertahan ya. Ayolah demi anak-anak kita.” Alvin memegang sebelah tangan Sivia dan menciumnya. “Dok, lakukan yang terbaik dok untuk istri dan anak saya.”
“Pak Alvin sebaiknya berdo’a kepada Tuhan, agar proses ini lancar.” Ujar Suster.
‘Oek, Oek, Oek”  suara tangisan bayi kembali terdengar, menandakan anak keduanya telah lahir.
“Gimana Dok?” tanya Alvin.
“Dia sangat cantik Pak Alvin seperti ibunya. Senyumnya, dia perempuan.”
“Coba saya ingin menggendongnya.” Ujar Alvin dengan senang.
Dokter mengalihkan bayi itu ke tangan Alvin.
“Iya bener. Siv, dia seperti kamu lho Siv.” Sivia hanya tersenyum lemah. Namun ekspresi  muka Alvin berubah saat dirasakannya ada sesuatu yang aneh. “Lho, dok. Kenapa bayi ini tidak bergerak seperti yang laki-laki tadi?” Tanya Alvin mulai sedikit was-was.
“Maaf, anak bapak cacat. Dan ini tidak bisa di obati. Karena anak bapak cacat bawaan.”
‘Jeder’
“Gak mungkin Dokter, gak mungkin anak saya cacat. Dia bukan anak saya.” Alvin mengacak-acak rambutnya.
“Al...” Panggil Sivia lemah sambil tersenyum.
“Sivia, dia bukan anak kita kan?”
Sivia hanya menggeleng dan tersenyum. Lalu matanya tertutup, untuk selamanya. Bunyi monitor yang menunjukkan garis lurus.
Dokter dan suster segera bertindak secepat mungkin. “Dokter Sivia kenapa? Dok, dia kenapa dok?” Alvin terus berteriak panik.
Dokter dan suster telah melakukan yang terbaik, melakukan semaksimal mungkin. “Kami sudah melakukan semaksimal mungkin. Maaf, Pak. Istri anda telah tiada.”
“Sivia.........!!!!! Sayang, kamu nggak boleh pergi. Sivia sayang, kamu hanya tidur kan? Iya, kamu cuman tidur. Hahaha” Setelah terdiam,Alvin beralih kepada kedua bayinya, dan ia memandang Putrinya dengan mata menyala-nyala penuh amarah. Alvin menghampirinya, “Ini semua pasti gara-gara kamu! anak cacat! Kamu harus bertanggung jawab, Sivia istriku mati gara-gara kamu!!”
Sebagai seorang pengusaha ternama, Alvin pastinya malu mempunyai anak cacat. Jadi apapun bakalan ia perbuat demi menjaga kehormatannya.

10 Tahun kemudian

“hiks, hiks... ampun Pa, ampun. Oik nggak bersalah Pa, enggak. Ampun Pa,” Mohon seorang anak perempun.
Alvin menyeretnya masuk ke dalam kamar mandi. “Kenapa sih, kamu selalu aja bikin masalah!! Mama kamu mati, itu semua gara-gara kamu! iya kan? Lalu sekarang kamu mau merusak pesta Ulang Tahun kakakmu, Cakka? Iya, Jawab!!!” Alvin terus mengguyur Oik dengan air, ia menjambak rambut Oik, “Denger ya, ini akibat kamu keluar dari kamar!” Alvin menoyornya.
“Pa, tapi Oik pingin ikut pesatanya kak Cakka. Ini juga hari Ulang Tahun Oik, pa” Oik terus menangis. Gaun pestanya sudah basah kuyup,
“Mbok!!!!”
“Iya Tuan,”
“Kamu pembantu apaan sih? Disuruh jaga anak kecil aja gak becus! Sekarang biarkan dia di situ! Jangan kasih makan, salahnya sendiri!” Setelah itu Alvin meninggalkan tempat itu.
“Non Oik, “ Simbok masuk ke kamar mandi dan langsung menghambur ke dalam pelukan Oik. “Non, non kenapa bisa begini?” tanya Simbok.
“mbok, kenapa papa benci banget sama Oik? Papa nggak sayang sama Oik. Apa Oik bukan anak papa?” Tanya Oik di sela-sela tangisnya.
“Sttt.. non nggak boleh ngomong seperti itu. Tuan Alvin itu, papa non Oik sama den Cakka.”
“Mbok maafin Oik ya, karna udah bandel. Nggak mau dengerin nasihat mbok buat nggak turun.”
“Itu bukan salah non Oik kok, lagian non itu juga berhak berada di bawah, dan ikut pesta bareng den Cakka dan teman-temannya.” Simbok mengusap-usap rambut Oik.
“Tapi temen-temen kak Cakka pada ngejek Oik,”
“Ya sudahlah. Non jangan nangis terus, senyum. Happy Birthday non Oik.” Ujar simbok.
“Makasih ya mbok, J
“Ayo, non kita balik aja ke kamar. Bibi bantu berdiri.”
Simbok membantu berdiri Oik, setelah bisa berdiri tegap, barulah ia memberikan kruk itu pada Oik.

-Keesokan Harinya-
“Kak Cakka, kakak mau kemana?” tanya Oik di pagi hari itu.
“Kakak mau ke luar negeri,” Ujar Cakka sambil tersenyum.
“Oik ikut ya kak?” minta Oik.
“Iya, Oik ikut kok.” Cakka mengacak rambut adeknya.
“Oik mau minta kado apa dari kaka?” tanya Cakka.
“Oik pingin kotak musik, kak” J
“Ya sudah, nanti kakak beliin.”
Waktu Cakka dan Oik sedang asyik-asyiknya bermain di ruang tamu, tiba-tiba saja Alvin datang.
“Cakka ayo kita pergi sekarang!”
“Iya, Pa.”
“Pa, Oik ikut kan?” tanya Oik berharap.
“Kamu? kamu di sinilah!” Uajr Alvin kasar.
“Tapi, pa? Bukannya kita mau tinggal di luar negeri lama? Masak kita ninggalin Oik sih?” tanya Cakka.
“Cakka, kamu kan mau sekolah di sana. Kalau ada dia, pasti semuanya berantakan.” Alvin berubah menjadi lembut saat berbicara dengan Cakka.
“Pa, Oik ikut. Oik nggak mau di sini sendirian, Oik mau ikut Kak Cakka.”
“Ya sudah sekarang kamu ke atas dulu!”
Mata Oik berubah menjadi berbinar-binar.
“Beneran pa?” Alvin hanya mengangguk, Dengan rian Oik pun naik ke atas dibantu dengan kruk yang hanya sebelah itu.
“Pak Min, sudah siap semuanya? Kita berangkat sekarang, Oh ya, ini ada uang. Tolong kamu beri rumah, aku titip Oik di situ. Jangan pernah pernah pake rumah ini! Pokoknya jangan sampai ada yang mengetahui rumah itu. hanya kamu saja!”
Alvin menuju ke mobilnya diikuti Cakka dibelakangnya. “Lho, Pa. Kita Oiknya dulu dong. Tadi katanya Oik juga ikut?” tanya Cakka memberhentikan langkahnya.
“Kelamaan. Kita sudah ditunggu pesawat Cakka. Kamu nggak mau kan? Ntar papa beliin semuanya deh.”
Saat mendengar deru mobil, Oik tertegun. Oik langsung turun ke bawah. Mencoba secepat mungkin berjalan,
“Kak Cakka!!! Papa!” namun saat sudah berada di depan Alvin dan Cakka sudah berada di dalam mobil, “Pa, kak Cakka!” Oik terus berlari dengan airmatanya yang berlinang, namun ia di tahan Pak min. Sampai mobil itu melesat.
“Pak min, kenapa mereka ninggalin Oik?”
“Non, ikut bapak ya. Kita beli mainan yang banyak.”
“Nggak Pak, Oik maunya sama Kak Cakka.”
“Ayo! Cepetan!” Pak min berubah menjadi kasar.
“Min, mau dibawa ke mana non Oik.?” Tanya Simbok.
“Diem aja loe!”

***
10 tahun kemudian

Di sebuah sanggar lukis, di situ banyak sekali Lukisan-lukisan yang cantik dan indah. Sepertinya sang pelukis penuh dengan cintanya saat melukis, sehingga mampu melahirkan karya seindah ini. Tak lupa di bawahnya tertulis nama –Oi’ CS-
Di sudut lain sanggar itu, seorang gadis tengah duduk di tempat seperti padepokan, ia tengah melukis. Tiba-tiba saja dari belakang ada yang menutupi matanya.
“Hayo tebak, coba!”
“Ini siapa? Obiet?” saat tangannya menyentuh tangan orang yang menutupinya, “Acha?”
“Ya, ketahuan deh.” Gadis itu melepaskan tangannya. “Kamu tahu nggak, Ik? Aku punya kejutan lho buat kamu, dan sanggar ini.” Acha tersenyum misterius.
“Kejutan apa, Cha?” tanya Oik mengernyitkan dahinya.
“Mau tahu? Apa ya?”
“Iya, ih Acha nyebelin banget deh. ayo cepetan!”
“Iya, iya. Sanggar kita direkomendasikan untuk mengikuti pameran! Yeeyyyyy!!!” Dengan hebohnya Acha menjelaskannya.
Oik masih saja mematung tak habis pikir, “Masak?’
“Iya beneran. Dan semua lukisannya adalah lukisan kamu, Oik CS.”
“Yeyy... akhirnya Cha, sumpah aku nggak percaya.” Acha dan Oik pelukan.
Tiba-tiba saja seseorang datang. “Woy, pada ngomongin apa kalian?” Orang itu langsung mengambil alih duduk di dekat Oik.”
“Eh, Obiet, ngagetin aja. Itu sih Oik mau ikut pameran.” Acha melirik Oik dengan senyum menggoda, sedangkan Oik yang dilirik begitu hanya tersenyum malu-malu.
“Wah, selamat Ik. Kalau begitu J
“Oh ya, ini kan sudah sore. Pulang sekarang aja yuk.” Ajak Oik.
Acha dan Obiet hanya mengangguk, dan mereka semua merapikan tempat itu.

Mereka bertiga berbeda jurusan pulang. Setelah salam perpisahan, kini giliran Oik sendiri berjalan, dan ia menengak-nengok untuk melihat jalan. Dengan kedua tangan kirinya membawa map dan tas, sedangkan tangan kanannya memegang kruknya.
Saat Oik akan menyeberang tiba-tiba saja ada sebuah truk yang melaju dengan cepat dari arah kanan.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaa............!!!!”
‘Bruuukk’

Suara sirene ambulance memenuhi koridor rumah sakit. Dengan gerakan Cepat sang suster membawa korban kecelakaan ke dalam memasuki UGD.
“Dok, tolong selamatkan anak itu dok. Berapapun biayanya dok,” Ujar sang sopir.
“Iya, Pak. Bapak berdo’a saja. Permisi”
Karena di kepala Oik mengalami pendarahan, akhirnya Dokter menyarankan untuk melakukan operasi besar di otaknya.
Dokter dan suster masih saja bekerja keras untuk melalukan operasi itu.
Oik selamat dan  kini masih berada di ruang ICU karna dia belum juga sadar.
“Gimana Pak, keadaan teman saya?” tanya seorang gadis.
“Teman kamu masih di ruang ICU.” Acha segera kemari setelah tadi ia dihubungi oleh pihak rumah sakit yang menemukan no. Acha di HP Oik.

Karena keajaiban Tuhan, Oik kini sudah bekerja seperti biasanya. Tapi keadaannya masih harus dipanatau. Kadang Acha atau Obiet mengantarnya chek up, kadang juga ia sendiri.
Saat Oik pulang ke rumah, seperti biasanya. Bau alkohol menyambutnya. “eh, loe udah pulang. Gue minta uangnya lagi.”
“Lho, bukannya bulan kemarin Papa udah ngirim uang?” tanya Oik memprotes.
“Loe begok atau apa sih? Ya jelas kuranglah, uang kemarin itu habis juga gara-gara loe bocah sialan.!” Ujar Pak Min dengan keadaan mabuknya. Namun Oik tak menghiraukannya, ia segera pergi dari tempat itu dan menuju ke kamarnya.
“Shit..” maki Pak Min.
Begitulah keseharian yang dilakukan Pak Min, uang kiriman dari Alvin disalah gunakannya hanya untuk berjudi dan minum-minuman. Untungnya Oik masih punya sanggarnya, dan beberapa perabotan rumah tangga sudah terjual untuk melunasi hutang-hutang hasil berjudi itu.
***
Rumah yang berdiri kokoh dan mega di hadapannya itu kini terlihat sepi. Seorang Pria keluar dari mobil sportnya dengan menenteng tas di punggung dan koper.
‘ting,tong,ting,tong’
Tak lama kemudian pintu itu terbuka, muncul wanita paruh baya dari dalam. Sesaat wanita itu tertegun.
“Mbok,”
“Den Cakka.... ini beneran den Cakka?” tanya wanita yang dipanggil simbok itu tak percaya.
“Iya, mbok. Ini Cakka. J” Wanita tadi langsung menghambur ke pelukan Cakka.
“Aden kapan pulang? Kok nggak kasih kabar sama mbok? Mbok kangen tahu sama aden.” Simbok menangis bahagia. 
“Cakka juga kangen sama simbok, sama Oik juga.” Ujar Cakka, “Lho, Oik mana mbok? Ada di dalam ya?” pertanyaan Cakka membuat simbok diam,
“Maaf, den. Simbok nggak bisa tahan non Oik di sini, Pak Min, membawanya entah kemana.” Ujar simbok lesu.
“Sejak kapan mbok?” tanya Cakka lagi, kini senyumnya sudah menghilang. Hanya kekhawatiran seorang kakak yang kini menghiasi wajahnya.
“Sejak setelah kepergian Tuan dan Aden pergi waktu sepuluh tahun yang lalu.”
“Simbok tahu nggak? Alamat rumah Pak min?”
“Pak Min, sudah tak tinggal lagi di rumahnya yang dulu. Dan sampe sekarang simbok nggak ketemu mereka lagi.


Oik masih menata lukisan-lukisan itu di dinding saat seseorang bertanya, “Mbak, apakah lukisan ini di jual?” tanya orang itu. lebih tepatnya Pria itu.
“Iya, mas. Bentar,” karna letak pakunya terlalu tinggi, maka Oik harus berjinjit dengan sebelah kakinya, itu sudah kebiasaan Oik namun kali ini keseimbangannya sedikit kurang yang membuat ia jatuh. “Aaa...”
‘Hap’
Oik jatuh dalam pelukan Pria itu. Saat Oik membuka matanya, matanya bertatapan langsung dengan mata dihadapannya. Dan kini hati Oik merasakan desiran, ia tersadar.
“Eh, maaf. J” Oik menjauh dan mengambil kruknya.
“Iya, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati ya.” Pria itu berumur sekitar 20an sama seperti Oik, dengan potongan rambutnya yang menambah ketampanannnya. “Oh, ya. Lukisan ini dijual nggak?” tanyanya.
“Sebenarnya sih...”
“Dijual kok, iya nggak Ik?” tiba-tiba Acha muncul sambil membawa beberapa lukisan lagi. “Udah jangan malu-malu, itu pelanggan pertama kita Lho.” Bisik Acha sambil terkikik. Kemudian ia tersenyum kepada pelanggannya. “Ya udah kalian ngomongin dulu deh, gue mau naruh ini.” Setelah pamit, Acha pun pergi.
Setelah bernego, akhirnya lukisan itu kini menjadi milik Cakka. Cakka tersenyum dengan puas ketika memajang lukisan itu di dinding rumah yang telah ditinggalnya lama.
“Beres. Eh, tunggu. Kok seperti ada yang kurang ya?” Cakka mencoba mengingat-ingat kembali.”Ah, iya. Gue belum kenalan sama tuh cewek. Tadi temennya manggil Ik, ik siapa ya? Apa Oik? Oik juga suka melukis. Ah udahlah, besok mending ke sana lagi.”
“Ekhm...” Deheman itu mengagetkan Cakka dari gumamannya.
“Eh, Papa. J gimana Pa, sama perusahannya?” tanya Cakka dengan senyuman mengembang.
“Baik, lancar-lancar saja. Kamu sudah siap Kka? Buat gabung di perusahaan.”
“aku usahain. J” Cakka,
“Hahahaa...” Mereka tertawa bersama. “Udah sana tidur. Udah malam.”
“Siap Boss” Cakka hormat, seperti saat upacara.
***
Oik kini sudah tidak melakukan chek up lagi ke Rumah Sakit, karena ia tak mampu untuk membiayainya.
Akhir-akhir ini Oik mimisan kalau ia mengalami kecapean. Seperti saat ini, Oik mengusap hidungnya menggunakan tissue,
“Oik, kamu kenapa?” Tanya Acha khawatir saat melihat Oik mimisan.
Oik mendongak dan tersenyum, “Enggak apa-apa Cha, mungkin aku kecapean aja.”
Acha mengambil alih kuas Oik, “Biar kamu lanjutin besok aja ya. Mending kamu pulang aja gih, terus istirahat.” Acha mengemasi perlengkapan lukis Oik. Oik hanya mengangguk.
“Mau aku yang nganter, apa Obiet?” tanya Acha.
“Aku bisa pulang sendiri kok, Cha. Kamu sama Obiet jaga di sini aja,”  Oik meraih tas dan tongkatnya, “Aku pulang duluan ya, Cha.”
“Iya, hati-hati ya Ik!”
 Tak lama setelah Oik pergi, Cakka datang. Acha menoleh dan tersenyum.
“Eh, mas yang kemarin ya?” tanya Acha.
“Iya. Eh....”
“Mau cari Oik ya? Oiknya baru aja pulang tuh,”
‘Tapi dia Oik bukan yah?’ Cakka mengernyit. “Oh, ya sudah. Kalau gitu besok aku ke sini lagi aja,”
***
Akhirnya Cakka ketemu juga dengan Oik. Cakka menunggu sampai Oik selesai bekerja, kadang ia membantu di sanggar itu.
“Kamu sejak kapan suka sama melukis?” tanya Cakka waktu mereka duduk-duduk di taman dekat sanggar.
“Aku juga nggak tahu, dari kecil aku sudah suka melukis. Entah mengapa, aku selalu ingin melakukannya.”
“Aku jadi ingat saudara kembarku. Tapi aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Apa kamu Oik...” Ucapan Cakka menggantung.
“Kak Cakka?”
“Oik?” mereka berdua saling menatap dengan kerinduan di dua bola matanya.
Cakka memeluk Oik sangat erat, seolah-olah ia tak ingin melepaskannya. Mereka berdua larut dalam kerinduan itu.
“Gimana kabarnya papa, kak?” tanya Oik.
“Kenapa kamu masih mengingatnya, Ik?” tanya Cakka heran.
“Ya, bagaimana pun juga dia kan papa aku.”
‘Kakak bangga Ik, sama kamu. walaupun papa sudah berbuat buruk sama kamu, tapi kamu masih mau menganggap papa sebagai orangtua kamu.’
***
“Pa, aku sudah bertemu sama Oik. Dia tumbuh jadi gadis cantik Pa, dia melukis di sanggarnya. Apa papa nggak mau ngajak Oik tinggal di sini lagi sama kita?” Cakka berkata penuh binar.
“Kamu jangan merusak suasana papa deh, Kka” Alvin melengos.
“Tapi pa,..”
“Kamu mending siap-siap gih sana! Papa mau ngenalin kamu sama teman lama Papa.”
Dengan ogah-ogahan Cakka menuruti perintah Papanya.

“Wah, anakmu sekarang sudah besar ya Vin.”
“Iya, dia cakep lagi. Kamu kasih makan apa dia? kok bisa kayak gini. hahaha...”
“Iya dong, siapa dulu papanya. Alvin Sindunata.” Alvin menyombongkan dirinya.
“Namamu siapa nak?”
“Cakka tante,”
Sepanjang malam ini, Cakka tak bisa berkonsentrasi dengan acara makan malam itu. Pikiran Cakka hanya tertuju kepada Oik, sudah makankah dia? Rahang Cakka mengeras, saat tadi ia bertemu dengan Pak Min, di rumah itu disulap menjadi tempat perjudian.

***
Pagi hari saat Oik akan berangkat, tiba-tiba saja langkahnya di stop Pak Min.
“Eh, cewek sialan. Kenapa loe nggak bilang-bilang kalau Bapak loe itu sudah pulang! Kalau gitu kan, loe bisa minta uang ke dia. dengan alasan, loe lagi butuh buat biaya loe!” Pak Min memaki Oik.
Oik hanya menunduk. “Oik nggak mau ngerepotin Papa sama Kak Cakka, Pak.”
“Loe bener-bener anak sialan ya! Pantes bapak loe nggak mau ngakuin loe! dasar cacat, sukanya nyusahin orang saja.”
‘Plaakkk.’ Satu tamparan mengenai pipi mulus Oik,
Oik memegangi pipinya, di mulutnya sudah keluar darah. Tiba-tiba saja ia merasakan kesakitan di bagian kepalanya. Namun Pak Min tidak berhenti untuk menganiaya Oik.
Seketika Oik kehilangan kesadaran dan dirinya ambruk.
‘Hap’
Tepat saat itu seseorang menangkapnya. “Eh, loe apain adek gue!”
“Den Cakka, eh non Oik  tadi bandel,”
“Alah, nggak usah ngibul deh loe. Awas aja loe kalau sampai terjadi apa-apa sama dia. tunggu balesan gue!”
Cakka langsung membopong Oik menuju ke mobilnya. Dia melesat menuju ke RS.

Cakka duduk di hadapan Dokter, dokter itu bernama Rio.
“Gimana keadaan adek saya, Dok?” tanya Cakka.
“Kami belum bisa mendiagnosa apapun. Mungkin itu akibat dari Operasi Otak yang pernah di jalani Oik.”
“Apa, Dok? Operasi Otak?”
“Iya, Oik dulu pernah mengalami kecelakaan, korban tabrakan. Tapi setelah itu, dia hanya chek up beberapa kali saja. Orangtuanya yang menandatangani pemeriksaan itu, karena ia tak punya biaya.”
“Maksud anda itu Pak Min? Dia bukan orangtua kami, dia sopir.”
“Dan sepertinya Oik harus menginap di sini untuk melakukan beberapa tahap tes.”
“tolong lakukan yang terbaik dok untuk adek saya! Berapapun biayanya” Mohon Cakka.
“Baiklah Cakka. Kami akan usahakan.”
“Makasih dokter,”
Cakka keluar dari ruang dokter.

Sesampainya di rumah itu, Cakka langsung menggebrak pintu, sampai pintu itu jebol. Dengan emosi yang meluap-luap.
“Amin!!! Keluar loe sini!” Teriak Cakka. “Amin.....!!!!”
Amin yang sedang bermain judi dan di sampingnya ada seorang wanita langsung berdiri. “Aden? Ada apa ya?” tanyanya sok polos.
“Alah, nggak usah sok polos segala deh loe.” Cakka mencengkram kerah baju Amin, “Kenapa loe nggak bilang ke Papa kalau Oik kecelakaan! Dan pernah melakukan operasi besar pada otaknya. Jawab!! Kemanain uang yang tiap bulan Papa kirim, loe embat buat kayak ginian hah?!!” Cakka menonjok muka Pak Amin.
“Pergi loe semua!!! Inget ya, ini bukan rumah perjudian!!” Cakka mengusir semua orang yang ada di situ. Dan menendang kursi dengan keras, matanya penuh dengan kemarahan.
Semua orang lari terbirit-birit dan ketakutan. Cakka melayangkan tinjunya ke Amin berkali-kali, sampai Polisi datang dan menangkap Amin.
Setelah semua urusan beres, Cakka kembali ke rumah sakit untuk menemani Oik.

“Dek, bangun dong. Jangan tinggalin kakak... Katanya mau kado Ulang Tahun dari kakak?” Sebutir air mulai turun dari matanya. “Maafin kakak sama Papa ya,”
Tiba-tiba saja tangan Oik bergerak, matanya mengerjap.
“Oik, kamu sadar?” tanya Cakka sedikit senang.
“A..aku dimana kak?” Oik memandang kesekelilingnya.
“Kamu ada di rumah sakit. Udah kamu istirahat dulu, biar kakak panggilin dokter.”
Cakka berlari keluar, tak lama kemudian Dokter Rio dan suster datang untuk mengecek keadaan Oik.
“Kamu sudah baikan Oik?” tanya dokter.
“Udah dok, kira-kira kapan aku pulang ya?” tanya Oik.
“Kamu harus menginap dulu untuk melakukan ronsen. Jaga kesehatan kamu ya, jangan terlalu capek.”
Oik hanya mengangguk tersenyum lemah.
***
Setelah selesai melakukan berbagai tahap pemeriksaan, Oik sudah di bolehkan pulang. Tapi Oik kini pulang ke rumahnya yang dulu, betapa rindunya Oik.
“Kak, makasih ya.” Ujar Oik.
“Kamu nggak usah sungkan gitu.” Saat ini mereka duduk di teras depan rumah. “Oh, ya. Tunggu sebentar, aku punya sesuatu.” Cakka masuk ke dalam rumah, dan kembali dengan membawa sekotak benda dengan kertas kado menyelimutinya.
“Ini buat kamu.” Cakka mengangsurkan kotak itu,
“Ini apa?”
“Udah buka aja!”
“Ya udah deh aku buka.” Oik membuka kertas kado, dan membuka kotaan itu. Sebuah benda berbentuk hati berwarna merah kini sudah berada di tangannya. “Wah... bagus banget, kakak masih ingat sama ini?” tanya Oik tak percaya.
“Iya dong. Itu kan permintaan dari adekku tercinta :D” Cakka tersenyum. Dia senang melihat Oik bahagia.
Oik membuka kotak musik itu. terdengar sebuah nada yang biasa dipakai untuk tarian balet mengalun, dan seorang balerina menari-nari di atas kotak tersebut.
“Makasih ya buat kadonya. Aduh, Oik jadi bingung nih mau kasih kado apa?”
“Nggak usah juga nggak apa-apa. Oh, ya Ik. Aku punya teman di USA, mereka kakak beradik kembar. Namanya Ray sama Ozy. Gokil banget deh mereka berdua. Ray itu adiknya. Kata mereka, anak kembar itu yang jadi kakak sebenarnya yang keluar terakhir bukan yang pertama, karena dia tidak mau membiarkan adiknya terluka, merasakan sesak lebih lama di dalam kandungan, maka dia akan mengorbankan agar adiknya lahir duluan. Seperti kamu Oik, kamu dari dulu selalu melindungi aku, selalu menjagaku dari marahan Papa karena aku bandel, jadi yang lebih pantas jadi kakak itu kamu.” Cakka mengacak rambut Oik.
Oik meneteskan airmatanya saat mendengar cerita Cakka. Lalu Cakka memeluknya. “Kak Cakka juga, selalu ngebela Oik.” J
***
“ada Tumor yang tumbuh di kepala Oik.”
“Apa ini gara-gara operasi itu dok?” tanya Cakka was-was.
“Bisa jadi begitu. Tumor yang diderita Oik tumbuh dengan pesat, dan kita harus melakukan operasi secepat mungkin. Agar tumornya tidak menyebar.”
“Lakukanlah dok,”
“Tapi sayang, karna tumor Oik sudah menyebar keseluruh otaknya. Kalaupun operasi harapan hidupnya sangat tipis. Kami sudah tidak melakukan apa-apa. Hanya obat-obatan yang bisa menghambat pertumbuhannya, tapi bukan menghilangkannya.” Dokter menghela napas. “Seharusnya waktu Oik pertama mimisan, ia segera di bawa ke sini.”
Dokter Rio menepuk pundak Cakka. “Berdoalah, agar Tuhan memberikan keajaiban kembali pada dirinya.”

Namun keadaan Oik bukannya membaik kini malah memburuk. Oik sudah tahu tentang penyakitnya itu, dan Oik akan menyelesaikan projeknya secepat mungkin.
Oik terus menggerak-nggerakkan kuasnya di atas kanvas dengan hati-hati dan sangat mendetail. Ia tidak mau terjadi kesalahan sedikit pun dengan lukisannya kali ini. Mungkin lukisan ini akan menjadi lukisan terakhirnya.
“Oik... Ik,”
Seseorang memanggilnya. Dan Oik harus segera menutupi lukisannya.
“Kamu di sini? Aku cariin kemana-mana juga. ayo kita makan malam.” Ajak Cakka. Sesaat Cakka melirik ke arah lukisan yang tertutup kain. Ia memikirkannya.
“Ayo”
Oik berpapasan dengan Papanya. “Pa, ayo makan.” Ajak Cakka. Oik hanya mencoba untuk tersenyum kepada Papanya.
“Kalian dulu saja.” Ujar Papanya. Namun Alvin hanya diam saat melihat ke arah Oik.
Alvin semakin menyibukkan diri dengan pekerjaannya, sejak Oik tinggal di situ. Ia rindu dengan Sivia.

Malam ini Oik lembur lagi, sampai ia kembali mimisan. Saat Oik menunduk ingin mengambil warna merah, darah dari hidungnya mengalir dan jatuh menetes ke wadah cat. Oik tak sadar kalau yang digunakannya untuk mengecet itu darahnya bukan cat merah.
Oik terus memaksakan dirinya untuk terus melukis, ia sangat berharap lukisan itu akan segera terselesaikan sebelum waktunya tiba. Yang hanya menghitung hari lagi. Fikirnya.
Oik kesal sendiri saat ia tak pernah bisa untuk melukis seseorang yang sangat ia cintai dan kagumi, namun ia tak pernah bisa menggambarnya. Ia sangat berhati-hati untuk menggambar orang itu, pokoknya harus perfect.
Oik menutupi kembali lukisan belum jadinya dengan kain. Dan keluar dari ruangan itu untuk menuju ke kamarnya. Namun lagi-lagi ia bertemu dengan Papanya. Kali ini tak ada Cakka di sampingnya.
Oik menunduk, tak berani menatap sosok itu.
“Belum tidur?” sapanya. Walaupun singkat dan masih terdengar dingin, namun Oik sangat senang. Oik langsung mendongak dengan hati-hati.
“Belum,... Pa. Pa.. Papa belum tidur?” tanya Oik sedikit terbata karena gugup.  
“Nanti. Kamu tidur sana, sudah malam.”
“Iya, Pa.”
Sepanjang malam itu Oik terus tersenyum, karena ia bahagia. Papanya menyapa dirinya, hal yang sangat mustahil.
***
Sudah satu bulan dan lukisan itu akhirnya sudah jadi dengan sangat puas Oik memandangnya. Oik menutupinya, saat mau melangkah, pandangan Oik kabur.... keringat sangat deras mengucur di dahinya. Rasa sakit itu kini hadir kembali, dan ia mimisan. Oik mengusap hidungnya yang berdarah.
Sesaat semuanya berubah menjadi gelap.

Suara ambulance lagi-lagi memenuhi koridor rumah sakit, beberapa suster dan dokter bergerak cepat.
Cakka terus memegangi tangan Oik. “Oik, jangan tinggalin kakak. Bangun, Ik!”
Cakka ditahan oleh suster. “Maaf, mas. Tolong tunggu di luar.”
“Tapi, sus. Saya kakaknya.” Cakka memberontak.
“Iya. Tapi sebaiknya anda tunggu di luar. Kami akan melakukan yang terbaik.” Cakka pun mengalah,
Cakka terlihat sibuk mencari nomor Papanya dan ia menghubunginya. “Shit!” Cakka menggeram saat operator telepon yang berbicara.
“Papa kemana sih? Anaknya lagi sekarat juga. Bisnis terus!!” Cakka mengacak rambutnya frustasi.

“Saat ini keadaan Oik sudah sangat parah, padahal kemarin kesehatannya sudah membaik.” Ujar Dokter Rio.
“Iya, dok. Saya juga sempat merasakan itu.”
“Orangtua kamu kemana?” tanya dokter lagi.
“Taulah dok, anak lagi sekarat yang di urus cuman bisnis.”
“Tolong hubungi orangtuamu tentang keadaan adikmu.” Dokter Rio menyarankan,

Cakka memasuki ruang rawat inap Oik dengan menggunakan baju steril. Oik kini sudah sadar, gadis itu sedang memandang keluar jendela dipangkuannya ada kotak musik yang masih di putar.
“Oik,”
“Kak Cakka?”
“Iya, ini aku, Ik. Kamu sudah mendingan kan? Aku suapin makan ya?” tawar Cakka.
“Nggak ah, Oik nggak mau.” Oik menggeleng. “Kak, Oik sayang Kakak. “
“Iya, Ik. Kakak juga sayang sama kamu.” Cakka tersenyum, walau hatinya pedih melihat keadaan Oik.
“Oik sayang sama Papa.” Ucap Oik lirih.
Walaupun Cakka masih bisa mendengarnya, ia tak bisa menjawab apa-apa.
Cakka menyeka airmatanya. “Ik, kakak suapin ya.” Cakka mengalihkan perhatian.
“Oik pingin di peluk Papa, Oik juga pingin di cium papa.” Oik terus berkata dengan lirih.
“Iya, Oik. Iya.”
Oik menoleh ke arah Cakka, ia mengusap airmata Cakka. “Kak Cakka, kenapa nangis? Yah.. gantengnya ilang deh J” dalam keadaan kayak gini, Oik masih bisa melawak.
“Kakak nggak nangis kok, tadi kelilipan.” Ujar Cakka ikutan tersenyum.
Namun senyum Oik menghilang, “Kenapa Papa selalu menyalahkan Oik? Apa gara-gara Oik cacat? Atau karna mama meninggal karna melahirkan Oik? Kalau gitu tadinya Oik nggak usah lahir aja sekalian kak, biar mama masih terus hidup diantara kalian dan Papa tersenyum kembali. Kalau hidup Oik hanya beban bagi Papa, Oik nggak dilahirkan. Oik sayang sama Papa, sama Kak Cakka.”
Cakka hanya bisa memeluk Oik di sela, tangisnya. Oik tertidur dalam pelukan Cakka. Cakka mengecup keningnya dan membaringkan Oik. “Kakak juga nggak mau gini, Ik. Kakak juga akan memilih seperti kamu kalau akhirnya Papa kayak gitu. Kalau kamu nggak lahir, mending kakak juga nggak usah lahir. Ini semua bukan salah kamu, tapi salah Papa.”
Cakka mengambil kotak musik itu dan menaruhnya di atas meja. Cakkka membiarkan kotak musik itu terbuka, dengan balerina yang terus menari dan lagu yang diulang-ulang.


Cakka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di Kantor papanya, semua pegawai memberinya hormat. Namun hormat itu tak ia hiraukan, Cakka terus berjalan.
“Maaf Pak Cakka, Pak Alvinnya sedang ada rapat di dalam.” Ujar sekertaris Alvin.
“Panggil Pak Alvin sekarang juga,”
“Tapi Pak..”
“Ah udahlah biar saya saja!!” Cakka membuka pintu rapat dengan kasar. Semua orang menoleh padanya, terutama Alvin. Yang terlihat malu sama kliennya.
“Maaf, Pak Alvin. Pak Cakkanya terus ngotot.” Ujar sekertaris tadi.
Alvin menghampiri Cakka. “Ya udah. Kamu apa-apaan sih?”
“Oh, jadi papa nyalahin Cakka. Seharusnya Cakka yang marah sama Papa, Papa apa-apaan sih? Anaknya lagi sekarat juga, masih aja yang nompr satu Perusahaan. Aku kecewa Pa, sama Papa.”
“Cakka, ini semua juga buat kamu nak.” Alvin mencoba lembut,
“Tapi ini bukan buat Oik Papa!” Bentak Cakka. “Aku nggak butuh semua ini, kalau akhirnya Oik kesakitan. Dari awal aku nggak mau ikut sama Papa pergi ke USA. Ini semua salah Papa, Oik jadi kayak gini!!”
“Cakka kamu dengar Papa, Papa yang lebih sakit. Mama kamu meninggal karna dia!”
“Itu semua bukan Salah Oik Pa, tapi takdir yang membuat mama meninggal. Papa kecewa kan karna Oik cacat? Papa malu punya anak cacat!!” Tegas Cakka,

Sedangkan di kamar Oik, gadis itu masih saja tidur. Wajahnya terlihat damai, suara monitor yang beradu dengan lagu dari kotak musik terus mengalun. Namun tiba-tiba saja angin berhembus dan kotak musik itu tertutup, diiringi bunyian panjang dari monitor detak jantung Oik. Menandakan juga telah tertutupnya mata gadis itu untuk selama-lamanya.
Di sepanjang koridor Rumah Sakit terdengar derap langkah panjang-panjang. Mereka semua bergerak dengan cepat.

Terlihat Cakka sedang duduk di bangku dengan menunduk.
“Gimana Kka, dengan keadaan Oik?” tanya Alvin.
Cakka mendongak, menatapnya penuh menyala. “Merasa bersalah, Pa?” sindir Cakka yang masih terduduk.
“Maafin, Papa nak. Papa baru tersadar.”
“Memang. Memang orang-orang tak salah, penyesalan selalu datang belakangan. Kenapa nggak dari dulu Papa gini? Oik nggak harus menderita terlebih dahulu kan?”
“Maafin Papa. Oik gimana?”
“Lihat aja di dalem.” Cakka berdiri dan melangkah pergi.
Alvin masuk ke dalam ruangan, di dapatinya suster yang masih membersihkan alat-alat medis yang menempel di tubuh Oik.
“O... Oik... Suster, apa itu Oik anak saya?” tanya Alvin.
“Iya, Pak. Ini Oik.” Suster tersebut pergi.
“Oik... maafin papa nak. Maaf untuk selama ini, Papa baru sadar. Kamu lebih berharga dari apapun, terutama bisnis. Papa baru sadar kenapa mamamu lebih memilih untuk melahirkanmu daripada membunuhmu. Maafin papa sayang.”

Setelah pemakaman. Cakka memasuki ruangan melukis Oik, ia masih penasaran dengan apa yang di lukis Oik selama ini.
Cakka membuka kain, betapa cantiknya lukisan itu. Oik kecil yang memegang kotak musik, namun di situ tidak ada lagi tongkatnya. Oik diapit dirinya dan Papanya, dengan sayap dipunggung.


Hari ini Cakka diresmikan bekerja di perusahaan Papanya.  Tak ada lagi amarah dan dendam. Papanya kini sudah mau menerima Oik sebagai anaknya walaupun terlambat.
Kini dihadapan semua client-clietn penting dan pegawainya, dan beberapa wartawan dari stasiun TV terkenal turut hadir.  Alvin memperlihatkan sebuah lukisan yang sempurna itu. lukisan dengan disampingnya bertuliskan –sayang Papa, Kak Cakka-
Dengan bangga, Alvin menceritakan tentang Oik. “Dan inilah karya terakhir Oik, anak saya.” Airmata Alvin turun dengan cepat ia menghapus, digantikan dengan senyuman. “Saya tegaskan kembali, anak saya bukan hanya Cakka Sindunata, tapi juga Oik Sindunata. Selamat tinggal Oik, Kami semua sayang sama kamu.” Cakka ikutan tersenyum di samping papanya, sesekali menghapus airmatanya.
Semua yang hadir di ruang rapat itu juga ikut tersenyum, dan sesekali ikutan menghapus airmata yang mengalir. Sorotan kamera, dan beberapa blitz foto menyorotnya, Cakka dan Alvin.

SELESAI



0 komentar:

Posting Komentar

Lukisan Cinta Oik -Cerpen-





‘Oek, oek,oek’ akhirnya bayi itu telah terlahir ke dunia.
“Selamat ya, pak. Bayi anda laki-laki.” Ujar seorang suster.
“Makasih Tuhan, Ih unyu banget deh anak papa. Boleh saya menggendongnya sus?” Pinta Alvin, Ayah dari bayi itu.
“Baiklah, pak.”
Senyuman lega dari semua orang yang berada di kamar itu tak berlangsung lama sampai Sivia kembali mengaduh kesakitan.
“Auh... Dokter perut saya kenapa lagi? Sakit banget ini,”
“Sus, ayo sus. Mungkin saya anaknya kembar.” Mereka bertindak dengan cepat, karena melihat keadaan Sivia yang semakin lemah.
Alvin memberikan bayinya kepada suster yang satunya lagi, ia kembali mendekat ke arah Sivia untuk membantu memberikan semangat.
“Sayang, bertahan ya. Ayolah demi anak-anak kita.” Alvin memegang sebelah tangan Sivia dan menciumnya. “Dok, lakukan yang terbaik dok untuk istri dan anak saya.”
“Pak Alvin sebaiknya berdo’a kepada Tuhan, agar proses ini lancar.” Ujar Suster.
‘Oek, Oek, Oek”  suara tangisan bayi kembali terdengar, menandakan anak keduanya telah lahir.
“Gimana Dok?” tanya Alvin.
“Dia sangat cantik Pak Alvin seperti ibunya. Senyumnya, dia perempuan.”
“Coba saya ingin menggendongnya.” Ujar Alvin dengan senang.
Dokter mengalihkan bayi itu ke tangan Alvin.
“Iya bener. Siv, dia seperti kamu lho Siv.” Sivia hanya tersenyum lemah. Namun ekspresi  muka Alvin berubah saat dirasakannya ada sesuatu yang aneh. “Lho, dok. Kenapa bayi ini tidak bergerak seperti yang laki-laki tadi?” Tanya Alvin mulai sedikit was-was.
“Maaf, anak bapak cacat. Dan ini tidak bisa di obati. Karena anak bapak cacat bawaan.”
‘Jeder’
“Gak mungkin Dokter, gak mungkin anak saya cacat. Dia bukan anak saya.” Alvin mengacak-acak rambutnya.
“Al...” Panggil Sivia lemah sambil tersenyum.
“Sivia, dia bukan anak kita kan?”
Sivia hanya menggeleng dan tersenyum. Lalu matanya tertutup, untuk selamanya. Bunyi monitor yang menunjukkan garis lurus.
Dokter dan suster segera bertindak secepat mungkin. “Dokter Sivia kenapa? Dok, dia kenapa dok?” Alvin terus berteriak panik.
Dokter dan suster telah melakukan yang terbaik, melakukan semaksimal mungkin. “Kami sudah melakukan semaksimal mungkin. Maaf, Pak. Istri anda telah tiada.”
“Sivia.........!!!!! Sayang, kamu nggak boleh pergi. Sivia sayang, kamu hanya tidur kan? Iya, kamu cuman tidur. Hahaha” Setelah terdiam,Alvin beralih kepada kedua bayinya, dan ia memandang Putrinya dengan mata menyala-nyala penuh amarah. Alvin menghampirinya, “Ini semua pasti gara-gara kamu! anak cacat! Kamu harus bertanggung jawab, Sivia istriku mati gara-gara kamu!!”
Sebagai seorang pengusaha ternama, Alvin pastinya malu mempunyai anak cacat. Jadi apapun bakalan ia perbuat demi menjaga kehormatannya.

10 Tahun kemudian

“hiks, hiks... ampun Pa, ampun. Oik nggak bersalah Pa, enggak. Ampun Pa,” Mohon seorang anak perempun.
Alvin menyeretnya masuk ke dalam kamar mandi. “Kenapa sih, kamu selalu aja bikin masalah!! Mama kamu mati, itu semua gara-gara kamu! iya kan? Lalu sekarang kamu mau merusak pesta Ulang Tahun kakakmu, Cakka? Iya, Jawab!!!” Alvin terus mengguyur Oik dengan air, ia menjambak rambut Oik, “Denger ya, ini akibat kamu keluar dari kamar!” Alvin menoyornya.
“Pa, tapi Oik pingin ikut pesatanya kak Cakka. Ini juga hari Ulang Tahun Oik, pa” Oik terus menangis. Gaun pestanya sudah basah kuyup,
“Mbok!!!!”
“Iya Tuan,”
“Kamu pembantu apaan sih? Disuruh jaga anak kecil aja gak becus! Sekarang biarkan dia di situ! Jangan kasih makan, salahnya sendiri!” Setelah itu Alvin meninggalkan tempat itu.
“Non Oik, “ Simbok masuk ke kamar mandi dan langsung menghambur ke dalam pelukan Oik. “Non, non kenapa bisa begini?” tanya Simbok.
“mbok, kenapa papa benci banget sama Oik? Papa nggak sayang sama Oik. Apa Oik bukan anak papa?” Tanya Oik di sela-sela tangisnya.
“Sttt.. non nggak boleh ngomong seperti itu. Tuan Alvin itu, papa non Oik sama den Cakka.”
“Mbok maafin Oik ya, karna udah bandel. Nggak mau dengerin nasihat mbok buat nggak turun.”
“Itu bukan salah non Oik kok, lagian non itu juga berhak berada di bawah, dan ikut pesta bareng den Cakka dan teman-temannya.” Simbok mengusap-usap rambut Oik.
“Tapi temen-temen kak Cakka pada ngejek Oik,”
“Ya sudahlah. Non jangan nangis terus, senyum. Happy Birthday non Oik.” Ujar simbok.
“Makasih ya mbok, J
“Ayo, non kita balik aja ke kamar. Bibi bantu berdiri.”
Simbok membantu berdiri Oik, setelah bisa berdiri tegap, barulah ia memberikan kruk itu pada Oik.

-Keesokan Harinya-
“Kak Cakka, kakak mau kemana?” tanya Oik di pagi hari itu.
“Kakak mau ke luar negeri,” Ujar Cakka sambil tersenyum.
“Oik ikut ya kak?” minta Oik.
“Iya, Oik ikut kok.” Cakka mengacak rambut adeknya.
“Oik mau minta kado apa dari kaka?” tanya Cakka.
“Oik pingin kotak musik, kak” J
“Ya sudah, nanti kakak beliin.”
Waktu Cakka dan Oik sedang asyik-asyiknya bermain di ruang tamu, tiba-tiba saja Alvin datang.
“Cakka ayo kita pergi sekarang!”
“Iya, Pa.”
“Pa, Oik ikut kan?” tanya Oik berharap.
“Kamu? kamu di sinilah!” Uajr Alvin kasar.
“Tapi, pa? Bukannya kita mau tinggal di luar negeri lama? Masak kita ninggalin Oik sih?” tanya Cakka.
“Cakka, kamu kan mau sekolah di sana. Kalau ada dia, pasti semuanya berantakan.” Alvin berubah menjadi lembut saat berbicara dengan Cakka.
“Pa, Oik ikut. Oik nggak mau di sini sendirian, Oik mau ikut Kak Cakka.”
“Ya sudah sekarang kamu ke atas dulu!”
Mata Oik berubah menjadi berbinar-binar.
“Beneran pa?” Alvin hanya mengangguk, Dengan rian Oik pun naik ke atas dibantu dengan kruk yang hanya sebelah itu.
“Pak Min, sudah siap semuanya? Kita berangkat sekarang, Oh ya, ini ada uang. Tolong kamu beri rumah, aku titip Oik di situ. Jangan pernah pernah pake rumah ini! Pokoknya jangan sampai ada yang mengetahui rumah itu. hanya kamu saja!”
Alvin menuju ke mobilnya diikuti Cakka dibelakangnya. “Lho, Pa. Kita Oiknya dulu dong. Tadi katanya Oik juga ikut?” tanya Cakka memberhentikan langkahnya.
“Kelamaan. Kita sudah ditunggu pesawat Cakka. Kamu nggak mau kan? Ntar papa beliin semuanya deh.”
Saat mendengar deru mobil, Oik tertegun. Oik langsung turun ke bawah. Mencoba secepat mungkin berjalan,
“Kak Cakka!!! Papa!” namun saat sudah berada di depan Alvin dan Cakka sudah berada di dalam mobil, “Pa, kak Cakka!” Oik terus berlari dengan airmatanya yang berlinang, namun ia di tahan Pak min. Sampai mobil itu melesat.
“Pak min, kenapa mereka ninggalin Oik?”
“Non, ikut bapak ya. Kita beli mainan yang banyak.”
“Nggak Pak, Oik maunya sama Kak Cakka.”
“Ayo! Cepetan!” Pak min berubah menjadi kasar.
“Min, mau dibawa ke mana non Oik.?” Tanya Simbok.
“Diem aja loe!”

***
10 tahun kemudian

Di sebuah sanggar lukis, di situ banyak sekali Lukisan-lukisan yang cantik dan indah. Sepertinya sang pelukis penuh dengan cintanya saat melukis, sehingga mampu melahirkan karya seindah ini. Tak lupa di bawahnya tertulis nama –Oi’ CS-
Di sudut lain sanggar itu, seorang gadis tengah duduk di tempat seperti padepokan, ia tengah melukis. Tiba-tiba saja dari belakang ada yang menutupi matanya.
“Hayo tebak, coba!”
“Ini siapa? Obiet?” saat tangannya menyentuh tangan orang yang menutupinya, “Acha?”
“Ya, ketahuan deh.” Gadis itu melepaskan tangannya. “Kamu tahu nggak, Ik? Aku punya kejutan lho buat kamu, dan sanggar ini.” Acha tersenyum misterius.
“Kejutan apa, Cha?” tanya Oik mengernyitkan dahinya.
“Mau tahu? Apa ya?”
“Iya, ih Acha nyebelin banget deh. ayo cepetan!”
“Iya, iya. Sanggar kita direkomendasikan untuk mengikuti pameran! Yeeyyyyy!!!” Dengan hebohnya Acha menjelaskannya.
Oik masih saja mematung tak habis pikir, “Masak?’
“Iya beneran. Dan semua lukisannya adalah lukisan kamu, Oik CS.”
“Yeyy... akhirnya Cha, sumpah aku nggak percaya.” Acha dan Oik pelukan.
Tiba-tiba saja seseorang datang. “Woy, pada ngomongin apa kalian?” Orang itu langsung mengambil alih duduk di dekat Oik.”
“Eh, Obiet, ngagetin aja. Itu sih Oik mau ikut pameran.” Acha melirik Oik dengan senyum menggoda, sedangkan Oik yang dilirik begitu hanya tersenyum malu-malu.
“Wah, selamat Ik. Kalau begitu J
“Oh ya, ini kan sudah sore. Pulang sekarang aja yuk.” Ajak Oik.
Acha dan Obiet hanya mengangguk, dan mereka semua merapikan tempat itu.

Mereka bertiga berbeda jurusan pulang. Setelah salam perpisahan, kini giliran Oik sendiri berjalan, dan ia menengak-nengok untuk melihat jalan. Dengan kedua tangan kirinya membawa map dan tas, sedangkan tangan kanannya memegang kruknya.
Saat Oik akan menyeberang tiba-tiba saja ada sebuah truk yang melaju dengan cepat dari arah kanan.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaa............!!!!”
‘Bruuukk’

Suara sirene ambulance memenuhi koridor rumah sakit. Dengan gerakan Cepat sang suster membawa korban kecelakaan ke dalam memasuki UGD.
“Dok, tolong selamatkan anak itu dok. Berapapun biayanya dok,” Ujar sang sopir.
“Iya, Pak. Bapak berdo’a saja. Permisi”
Karena di kepala Oik mengalami pendarahan, akhirnya Dokter menyarankan untuk melakukan operasi besar di otaknya.
Dokter dan suster masih saja bekerja keras untuk melalukan operasi itu.
Oik selamat dan  kini masih berada di ruang ICU karna dia belum juga sadar.
“Gimana Pak, keadaan teman saya?” tanya seorang gadis.
“Teman kamu masih di ruang ICU.” Acha segera kemari setelah tadi ia dihubungi oleh pihak rumah sakit yang menemukan no. Acha di HP Oik.

Karena keajaiban Tuhan, Oik kini sudah bekerja seperti biasanya. Tapi keadaannya masih harus dipanatau. Kadang Acha atau Obiet mengantarnya chek up, kadang juga ia sendiri.
Saat Oik pulang ke rumah, seperti biasanya. Bau alkohol menyambutnya. “eh, loe udah pulang. Gue minta uangnya lagi.”
“Lho, bukannya bulan kemarin Papa udah ngirim uang?” tanya Oik memprotes.
“Loe begok atau apa sih? Ya jelas kuranglah, uang kemarin itu habis juga gara-gara loe bocah sialan.!” Ujar Pak Min dengan keadaan mabuknya. Namun Oik tak menghiraukannya, ia segera pergi dari tempat itu dan menuju ke kamarnya.
“Shit..” maki Pak Min.
Begitulah keseharian yang dilakukan Pak Min, uang kiriman dari Alvin disalah gunakannya hanya untuk berjudi dan minum-minuman. Untungnya Oik masih punya sanggarnya, dan beberapa perabotan rumah tangga sudah terjual untuk melunasi hutang-hutang hasil berjudi itu.
***
Rumah yang berdiri kokoh dan mega di hadapannya itu kini terlihat sepi. Seorang Pria keluar dari mobil sportnya dengan menenteng tas di punggung dan koper.
‘ting,tong,ting,tong’
Tak lama kemudian pintu itu terbuka, muncul wanita paruh baya dari dalam. Sesaat wanita itu tertegun.
“Mbok,”
“Den Cakka.... ini beneran den Cakka?” tanya wanita yang dipanggil simbok itu tak percaya.
“Iya, mbok. Ini Cakka. J” Wanita tadi langsung menghambur ke pelukan Cakka.
“Aden kapan pulang? Kok nggak kasih kabar sama mbok? Mbok kangen tahu sama aden.” Simbok menangis bahagia. 
“Cakka juga kangen sama simbok, sama Oik juga.” Ujar Cakka, “Lho, Oik mana mbok? Ada di dalam ya?” pertanyaan Cakka membuat simbok diam,
“Maaf, den. Simbok nggak bisa tahan non Oik di sini, Pak Min, membawanya entah kemana.” Ujar simbok lesu.
“Sejak kapan mbok?” tanya Cakka lagi, kini senyumnya sudah menghilang. Hanya kekhawatiran seorang kakak yang kini menghiasi wajahnya.
“Sejak setelah kepergian Tuan dan Aden pergi waktu sepuluh tahun yang lalu.”
“Simbok tahu nggak? Alamat rumah Pak min?”
“Pak Min, sudah tak tinggal lagi di rumahnya yang dulu. Dan sampe sekarang simbok nggak ketemu mereka lagi.


Oik masih menata lukisan-lukisan itu di dinding saat seseorang bertanya, “Mbak, apakah lukisan ini di jual?” tanya orang itu. lebih tepatnya Pria itu.
“Iya, mas. Bentar,” karna letak pakunya terlalu tinggi, maka Oik harus berjinjit dengan sebelah kakinya, itu sudah kebiasaan Oik namun kali ini keseimbangannya sedikit kurang yang membuat ia jatuh. “Aaa...”
‘Hap’
Oik jatuh dalam pelukan Pria itu. Saat Oik membuka matanya, matanya bertatapan langsung dengan mata dihadapannya. Dan kini hati Oik merasakan desiran, ia tersadar.
“Eh, maaf. J” Oik menjauh dan mengambil kruknya.
“Iya, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati ya.” Pria itu berumur sekitar 20an sama seperti Oik, dengan potongan rambutnya yang menambah ketampanannnya. “Oh, ya. Lukisan ini dijual nggak?” tanyanya.
“Sebenarnya sih...”
“Dijual kok, iya nggak Ik?” tiba-tiba Acha muncul sambil membawa beberapa lukisan lagi. “Udah jangan malu-malu, itu pelanggan pertama kita Lho.” Bisik Acha sambil terkikik. Kemudian ia tersenyum kepada pelanggannya. “Ya udah kalian ngomongin dulu deh, gue mau naruh ini.” Setelah pamit, Acha pun pergi.
Setelah bernego, akhirnya lukisan itu kini menjadi milik Cakka. Cakka tersenyum dengan puas ketika memajang lukisan itu di dinding rumah yang telah ditinggalnya lama.
“Beres. Eh, tunggu. Kok seperti ada yang kurang ya?” Cakka mencoba mengingat-ingat kembali.”Ah, iya. Gue belum kenalan sama tuh cewek. Tadi temennya manggil Ik, ik siapa ya? Apa Oik? Oik juga suka melukis. Ah udahlah, besok mending ke sana lagi.”
“Ekhm...” Deheman itu mengagetkan Cakka dari gumamannya.
“Eh, Papa. J gimana Pa, sama perusahannya?” tanya Cakka dengan senyuman mengembang.
“Baik, lancar-lancar saja. Kamu sudah siap Kka? Buat gabung di perusahaan.”
“aku usahain. J” Cakka,
“Hahahaa...” Mereka tertawa bersama. “Udah sana tidur. Udah malam.”
“Siap Boss” Cakka hormat, seperti saat upacara.
***
Oik kini sudah tidak melakukan chek up lagi ke Rumah Sakit, karena ia tak mampu untuk membiayainya.
Akhir-akhir ini Oik mimisan kalau ia mengalami kecapean. Seperti saat ini, Oik mengusap hidungnya menggunakan tissue,
“Oik, kamu kenapa?” Tanya Acha khawatir saat melihat Oik mimisan.
Oik mendongak dan tersenyum, “Enggak apa-apa Cha, mungkin aku kecapean aja.”
Acha mengambil alih kuas Oik, “Biar kamu lanjutin besok aja ya. Mending kamu pulang aja gih, terus istirahat.” Acha mengemasi perlengkapan lukis Oik. Oik hanya mengangguk.
“Mau aku yang nganter, apa Obiet?” tanya Acha.
“Aku bisa pulang sendiri kok, Cha. Kamu sama Obiet jaga di sini aja,”  Oik meraih tas dan tongkatnya, “Aku pulang duluan ya, Cha.”
“Iya, hati-hati ya Ik!”
 Tak lama setelah Oik pergi, Cakka datang. Acha menoleh dan tersenyum.
“Eh, mas yang kemarin ya?” tanya Acha.
“Iya. Eh....”
“Mau cari Oik ya? Oiknya baru aja pulang tuh,”
‘Tapi dia Oik bukan yah?’ Cakka mengernyit. “Oh, ya sudah. Kalau gitu besok aku ke sini lagi aja,”
***
Akhirnya Cakka ketemu juga dengan Oik. Cakka menunggu sampai Oik selesai bekerja, kadang ia membantu di sanggar itu.
“Kamu sejak kapan suka sama melukis?” tanya Cakka waktu mereka duduk-duduk di taman dekat sanggar.
“Aku juga nggak tahu, dari kecil aku sudah suka melukis. Entah mengapa, aku selalu ingin melakukannya.”
“Aku jadi ingat saudara kembarku. Tapi aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Apa kamu Oik...” Ucapan Cakka menggantung.
“Kak Cakka?”
“Oik?” mereka berdua saling menatap dengan kerinduan di dua bola matanya.
Cakka memeluk Oik sangat erat, seolah-olah ia tak ingin melepaskannya. Mereka berdua larut dalam kerinduan itu.
“Gimana kabarnya papa, kak?” tanya Oik.
“Kenapa kamu masih mengingatnya, Ik?” tanya Cakka heran.
“Ya, bagaimana pun juga dia kan papa aku.”
‘Kakak bangga Ik, sama kamu. walaupun papa sudah berbuat buruk sama kamu, tapi kamu masih mau menganggap papa sebagai orangtua kamu.’
***
“Pa, aku sudah bertemu sama Oik. Dia tumbuh jadi gadis cantik Pa, dia melukis di sanggarnya. Apa papa nggak mau ngajak Oik tinggal di sini lagi sama kita?” Cakka berkata penuh binar.
“Kamu jangan merusak suasana papa deh, Kka” Alvin melengos.
“Tapi pa,..”
“Kamu mending siap-siap gih sana! Papa mau ngenalin kamu sama teman lama Papa.”
Dengan ogah-ogahan Cakka menuruti perintah Papanya.

“Wah, anakmu sekarang sudah besar ya Vin.”
“Iya, dia cakep lagi. Kamu kasih makan apa dia? kok bisa kayak gini. hahaha...”
“Iya dong, siapa dulu papanya. Alvin Sindunata.” Alvin menyombongkan dirinya.
“Namamu siapa nak?”
“Cakka tante,”
Sepanjang malam ini, Cakka tak bisa berkonsentrasi dengan acara makan malam itu. Pikiran Cakka hanya tertuju kepada Oik, sudah makankah dia? Rahang Cakka mengeras, saat tadi ia bertemu dengan Pak Min, di rumah itu disulap menjadi tempat perjudian.

***
Pagi hari saat Oik akan berangkat, tiba-tiba saja langkahnya di stop Pak Min.
“Eh, cewek sialan. Kenapa loe nggak bilang-bilang kalau Bapak loe itu sudah pulang! Kalau gitu kan, loe bisa minta uang ke dia. dengan alasan, loe lagi butuh buat biaya loe!” Pak Min memaki Oik.
Oik hanya menunduk. “Oik nggak mau ngerepotin Papa sama Kak Cakka, Pak.”
“Loe bener-bener anak sialan ya! Pantes bapak loe nggak mau ngakuin loe! dasar cacat, sukanya nyusahin orang saja.”
‘Plaakkk.’ Satu tamparan mengenai pipi mulus Oik,
Oik memegangi pipinya, di mulutnya sudah keluar darah. Tiba-tiba saja ia merasakan kesakitan di bagian kepalanya. Namun Pak Min tidak berhenti untuk menganiaya Oik.
Seketika Oik kehilangan kesadaran dan dirinya ambruk.
‘Hap’
Tepat saat itu seseorang menangkapnya. “Eh, loe apain adek gue!”
“Den Cakka, eh non Oik  tadi bandel,”
“Alah, nggak usah ngibul deh loe. Awas aja loe kalau sampai terjadi apa-apa sama dia. tunggu balesan gue!”
Cakka langsung membopong Oik menuju ke mobilnya. Dia melesat menuju ke RS.

Cakka duduk di hadapan Dokter, dokter itu bernama Rio.
“Gimana keadaan adek saya, Dok?” tanya Cakka.
“Kami belum bisa mendiagnosa apapun. Mungkin itu akibat dari Operasi Otak yang pernah di jalani Oik.”
“Apa, Dok? Operasi Otak?”
“Iya, Oik dulu pernah mengalami kecelakaan, korban tabrakan. Tapi setelah itu, dia hanya chek up beberapa kali saja. Orangtuanya yang menandatangani pemeriksaan itu, karena ia tak punya biaya.”
“Maksud anda itu Pak Min? Dia bukan orangtua kami, dia sopir.”
“Dan sepertinya Oik harus menginap di sini untuk melakukan beberapa tahap tes.”
“tolong lakukan yang terbaik dok untuk adek saya! Berapapun biayanya” Mohon Cakka.
“Baiklah Cakka. Kami akan usahakan.”
“Makasih dokter,”
Cakka keluar dari ruang dokter.

Sesampainya di rumah itu, Cakka langsung menggebrak pintu, sampai pintu itu jebol. Dengan emosi yang meluap-luap.
“Amin!!! Keluar loe sini!” Teriak Cakka. “Amin.....!!!!”
Amin yang sedang bermain judi dan di sampingnya ada seorang wanita langsung berdiri. “Aden? Ada apa ya?” tanyanya sok polos.
“Alah, nggak usah sok polos segala deh loe.” Cakka mencengkram kerah baju Amin, “Kenapa loe nggak bilang ke Papa kalau Oik kecelakaan! Dan pernah melakukan operasi besar pada otaknya. Jawab!! Kemanain uang yang tiap bulan Papa kirim, loe embat buat kayak ginian hah?!!” Cakka menonjok muka Pak Amin.
“Pergi loe semua!!! Inget ya, ini bukan rumah perjudian!!” Cakka mengusir semua orang yang ada di situ. Dan menendang kursi dengan keras, matanya penuh dengan kemarahan.
Semua orang lari terbirit-birit dan ketakutan. Cakka melayangkan tinjunya ke Amin berkali-kali, sampai Polisi datang dan menangkap Amin.
Setelah semua urusan beres, Cakka kembali ke rumah sakit untuk menemani Oik.

“Dek, bangun dong. Jangan tinggalin kakak... Katanya mau kado Ulang Tahun dari kakak?” Sebutir air mulai turun dari matanya. “Maafin kakak sama Papa ya,”
Tiba-tiba saja tangan Oik bergerak, matanya mengerjap.
“Oik, kamu sadar?” tanya Cakka sedikit senang.
“A..aku dimana kak?” Oik memandang kesekelilingnya.
“Kamu ada di rumah sakit. Udah kamu istirahat dulu, biar kakak panggilin dokter.”
Cakka berlari keluar, tak lama kemudian Dokter Rio dan suster datang untuk mengecek keadaan Oik.
“Kamu sudah baikan Oik?” tanya dokter.
“Udah dok, kira-kira kapan aku pulang ya?” tanya Oik.
“Kamu harus menginap dulu untuk melakukan ronsen. Jaga kesehatan kamu ya, jangan terlalu capek.”
Oik hanya mengangguk tersenyum lemah.
***
Setelah selesai melakukan berbagai tahap pemeriksaan, Oik sudah di bolehkan pulang. Tapi Oik kini pulang ke rumahnya yang dulu, betapa rindunya Oik.
“Kak, makasih ya.” Ujar Oik.
“Kamu nggak usah sungkan gitu.” Saat ini mereka duduk di teras depan rumah. “Oh, ya. Tunggu sebentar, aku punya sesuatu.” Cakka masuk ke dalam rumah, dan kembali dengan membawa sekotak benda dengan kertas kado menyelimutinya.
“Ini buat kamu.” Cakka mengangsurkan kotak itu,
“Ini apa?”
“Udah buka aja!”
“Ya udah deh aku buka.” Oik membuka kertas kado, dan membuka kotaan itu. Sebuah benda berbentuk hati berwarna merah kini sudah berada di tangannya. “Wah... bagus banget, kakak masih ingat sama ini?” tanya Oik tak percaya.
“Iya dong. Itu kan permintaan dari adekku tercinta :D” Cakka tersenyum. Dia senang melihat Oik bahagia.
Oik membuka kotak musik itu. terdengar sebuah nada yang biasa dipakai untuk tarian balet mengalun, dan seorang balerina menari-nari di atas kotak tersebut.
“Makasih ya buat kadonya. Aduh, Oik jadi bingung nih mau kasih kado apa?”
“Nggak usah juga nggak apa-apa. Oh, ya Ik. Aku punya teman di USA, mereka kakak beradik kembar. Namanya Ray sama Ozy. Gokil banget deh mereka berdua. Ray itu adiknya. Kata mereka, anak kembar itu yang jadi kakak sebenarnya yang keluar terakhir bukan yang pertama, karena dia tidak mau membiarkan adiknya terluka, merasakan sesak lebih lama di dalam kandungan, maka dia akan mengorbankan agar adiknya lahir duluan. Seperti kamu Oik, kamu dari dulu selalu melindungi aku, selalu menjagaku dari marahan Papa karena aku bandel, jadi yang lebih pantas jadi kakak itu kamu.” Cakka mengacak rambut Oik.
Oik meneteskan airmatanya saat mendengar cerita Cakka. Lalu Cakka memeluknya. “Kak Cakka juga, selalu ngebela Oik.” J
***
“ada Tumor yang tumbuh di kepala Oik.”
“Apa ini gara-gara operasi itu dok?” tanya Cakka was-was.
“Bisa jadi begitu. Tumor yang diderita Oik tumbuh dengan pesat, dan kita harus melakukan operasi secepat mungkin. Agar tumornya tidak menyebar.”
“Lakukanlah dok,”
“Tapi sayang, karna tumor Oik sudah menyebar keseluruh otaknya. Kalaupun operasi harapan hidupnya sangat tipis. Kami sudah tidak melakukan apa-apa. Hanya obat-obatan yang bisa menghambat pertumbuhannya, tapi bukan menghilangkannya.” Dokter menghela napas. “Seharusnya waktu Oik pertama mimisan, ia segera di bawa ke sini.”
Dokter Rio menepuk pundak Cakka. “Berdoalah, agar Tuhan memberikan keajaiban kembali pada dirinya.”

Namun keadaan Oik bukannya membaik kini malah memburuk. Oik sudah tahu tentang penyakitnya itu, dan Oik akan menyelesaikan projeknya secepat mungkin.
Oik terus menggerak-nggerakkan kuasnya di atas kanvas dengan hati-hati dan sangat mendetail. Ia tidak mau terjadi kesalahan sedikit pun dengan lukisannya kali ini. Mungkin lukisan ini akan menjadi lukisan terakhirnya.
“Oik... Ik,”
Seseorang memanggilnya. Dan Oik harus segera menutupi lukisannya.
“Kamu di sini? Aku cariin kemana-mana juga. ayo kita makan malam.” Ajak Cakka. Sesaat Cakka melirik ke arah lukisan yang tertutup kain. Ia memikirkannya.
“Ayo”
Oik berpapasan dengan Papanya. “Pa, ayo makan.” Ajak Cakka. Oik hanya mencoba untuk tersenyum kepada Papanya.
“Kalian dulu saja.” Ujar Papanya. Namun Alvin hanya diam saat melihat ke arah Oik.
Alvin semakin menyibukkan diri dengan pekerjaannya, sejak Oik tinggal di situ. Ia rindu dengan Sivia.

Malam ini Oik lembur lagi, sampai ia kembali mimisan. Saat Oik menunduk ingin mengambil warna merah, darah dari hidungnya mengalir dan jatuh menetes ke wadah cat. Oik tak sadar kalau yang digunakannya untuk mengecet itu darahnya bukan cat merah.
Oik terus memaksakan dirinya untuk terus melukis, ia sangat berharap lukisan itu akan segera terselesaikan sebelum waktunya tiba. Yang hanya menghitung hari lagi. Fikirnya.
Oik kesal sendiri saat ia tak pernah bisa untuk melukis seseorang yang sangat ia cintai dan kagumi, namun ia tak pernah bisa menggambarnya. Ia sangat berhati-hati untuk menggambar orang itu, pokoknya harus perfect.
Oik menutupi kembali lukisan belum jadinya dengan kain. Dan keluar dari ruangan itu untuk menuju ke kamarnya. Namun lagi-lagi ia bertemu dengan Papanya. Kali ini tak ada Cakka di sampingnya.
Oik menunduk, tak berani menatap sosok itu.
“Belum tidur?” sapanya. Walaupun singkat dan masih terdengar dingin, namun Oik sangat senang. Oik langsung mendongak dengan hati-hati.
“Belum,... Pa. Pa.. Papa belum tidur?” tanya Oik sedikit terbata karena gugup.  
“Nanti. Kamu tidur sana, sudah malam.”
“Iya, Pa.”
Sepanjang malam itu Oik terus tersenyum, karena ia bahagia. Papanya menyapa dirinya, hal yang sangat mustahil.
***
Sudah satu bulan dan lukisan itu akhirnya sudah jadi dengan sangat puas Oik memandangnya. Oik menutupinya, saat mau melangkah, pandangan Oik kabur.... keringat sangat deras mengucur di dahinya. Rasa sakit itu kini hadir kembali, dan ia mimisan. Oik mengusap hidungnya yang berdarah.
Sesaat semuanya berubah menjadi gelap.

Suara ambulance lagi-lagi memenuhi koridor rumah sakit, beberapa suster dan dokter bergerak cepat.
Cakka terus memegangi tangan Oik. “Oik, jangan tinggalin kakak. Bangun, Ik!”
Cakka ditahan oleh suster. “Maaf, mas. Tolong tunggu di luar.”
“Tapi, sus. Saya kakaknya.” Cakka memberontak.
“Iya. Tapi sebaiknya anda tunggu di luar. Kami akan melakukan yang terbaik.” Cakka pun mengalah,
Cakka terlihat sibuk mencari nomor Papanya dan ia menghubunginya. “Shit!” Cakka menggeram saat operator telepon yang berbicara.
“Papa kemana sih? Anaknya lagi sekarat juga. Bisnis terus!!” Cakka mengacak rambutnya frustasi.

“Saat ini keadaan Oik sudah sangat parah, padahal kemarin kesehatannya sudah membaik.” Ujar Dokter Rio.
“Iya, dok. Saya juga sempat merasakan itu.”
“Orangtua kamu kemana?” tanya dokter lagi.
“Taulah dok, anak lagi sekarat yang di urus cuman bisnis.”
“Tolong hubungi orangtuamu tentang keadaan adikmu.” Dokter Rio menyarankan,

Cakka memasuki ruang rawat inap Oik dengan menggunakan baju steril. Oik kini sudah sadar, gadis itu sedang memandang keluar jendela dipangkuannya ada kotak musik yang masih di putar.
“Oik,”
“Kak Cakka?”
“Iya, ini aku, Ik. Kamu sudah mendingan kan? Aku suapin makan ya?” tawar Cakka.
“Nggak ah, Oik nggak mau.” Oik menggeleng. “Kak, Oik sayang Kakak. “
“Iya, Ik. Kakak juga sayang sama kamu.” Cakka tersenyum, walau hatinya pedih melihat keadaan Oik.
“Oik sayang sama Papa.” Ucap Oik lirih.
Walaupun Cakka masih bisa mendengarnya, ia tak bisa menjawab apa-apa.
Cakka menyeka airmatanya. “Ik, kakak suapin ya.” Cakka mengalihkan perhatian.
“Oik pingin di peluk Papa, Oik juga pingin di cium papa.” Oik terus berkata dengan lirih.
“Iya, Oik. Iya.”
Oik menoleh ke arah Cakka, ia mengusap airmata Cakka. “Kak Cakka, kenapa nangis? Yah.. gantengnya ilang deh J” dalam keadaan kayak gini, Oik masih bisa melawak.
“Kakak nggak nangis kok, tadi kelilipan.” Ujar Cakka ikutan tersenyum.
Namun senyum Oik menghilang, “Kenapa Papa selalu menyalahkan Oik? Apa gara-gara Oik cacat? Atau karna mama meninggal karna melahirkan Oik? Kalau gitu tadinya Oik nggak usah lahir aja sekalian kak, biar mama masih terus hidup diantara kalian dan Papa tersenyum kembali. Kalau hidup Oik hanya beban bagi Papa, Oik nggak dilahirkan. Oik sayang sama Papa, sama Kak Cakka.”
Cakka hanya bisa memeluk Oik di sela, tangisnya. Oik tertidur dalam pelukan Cakka. Cakka mengecup keningnya dan membaringkan Oik. “Kakak juga nggak mau gini, Ik. Kakak juga akan memilih seperti kamu kalau akhirnya Papa kayak gitu. Kalau kamu nggak lahir, mending kakak juga nggak usah lahir. Ini semua bukan salah kamu, tapi salah Papa.”
Cakka mengambil kotak musik itu dan menaruhnya di atas meja. Cakkka membiarkan kotak musik itu terbuka, dengan balerina yang terus menari dan lagu yang diulang-ulang.


Cakka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesampainya di Kantor papanya, semua pegawai memberinya hormat. Namun hormat itu tak ia hiraukan, Cakka terus berjalan.
“Maaf Pak Cakka, Pak Alvinnya sedang ada rapat di dalam.” Ujar sekertaris Alvin.
“Panggil Pak Alvin sekarang juga,”
“Tapi Pak..”
“Ah udahlah biar saya saja!!” Cakka membuka pintu rapat dengan kasar. Semua orang menoleh padanya, terutama Alvin. Yang terlihat malu sama kliennya.
“Maaf, Pak Alvin. Pak Cakkanya terus ngotot.” Ujar sekertaris tadi.
Alvin menghampiri Cakka. “Ya udah. Kamu apa-apaan sih?”
“Oh, jadi papa nyalahin Cakka. Seharusnya Cakka yang marah sama Papa, Papa apa-apaan sih? Anaknya lagi sekarat juga, masih aja yang nompr satu Perusahaan. Aku kecewa Pa, sama Papa.”
“Cakka, ini semua juga buat kamu nak.” Alvin mencoba lembut,
“Tapi ini bukan buat Oik Papa!” Bentak Cakka. “Aku nggak butuh semua ini, kalau akhirnya Oik kesakitan. Dari awal aku nggak mau ikut sama Papa pergi ke USA. Ini semua salah Papa, Oik jadi kayak gini!!”
“Cakka kamu dengar Papa, Papa yang lebih sakit. Mama kamu meninggal karna dia!”
“Itu semua bukan Salah Oik Pa, tapi takdir yang membuat mama meninggal. Papa kecewa kan karna Oik cacat? Papa malu punya anak cacat!!” Tegas Cakka,

Sedangkan di kamar Oik, gadis itu masih saja tidur. Wajahnya terlihat damai, suara monitor yang beradu dengan lagu dari kotak musik terus mengalun. Namun tiba-tiba saja angin berhembus dan kotak musik itu tertutup, diiringi bunyian panjang dari monitor detak jantung Oik. Menandakan juga telah tertutupnya mata gadis itu untuk selama-lamanya.
Di sepanjang koridor Rumah Sakit terdengar derap langkah panjang-panjang. Mereka semua bergerak dengan cepat.

Terlihat Cakka sedang duduk di bangku dengan menunduk.
“Gimana Kka, dengan keadaan Oik?” tanya Alvin.
Cakka mendongak, menatapnya penuh menyala. “Merasa bersalah, Pa?” sindir Cakka yang masih terduduk.
“Maafin, Papa nak. Papa baru tersadar.”
“Memang. Memang orang-orang tak salah, penyesalan selalu datang belakangan. Kenapa nggak dari dulu Papa gini? Oik nggak harus menderita terlebih dahulu kan?”
“Maafin Papa. Oik gimana?”
“Lihat aja di dalem.” Cakka berdiri dan melangkah pergi.
Alvin masuk ke dalam ruangan, di dapatinya suster yang masih membersihkan alat-alat medis yang menempel di tubuh Oik.
“O... Oik... Suster, apa itu Oik anak saya?” tanya Alvin.
“Iya, Pak. Ini Oik.” Suster tersebut pergi.
“Oik... maafin papa nak. Maaf untuk selama ini, Papa baru sadar. Kamu lebih berharga dari apapun, terutama bisnis. Papa baru sadar kenapa mamamu lebih memilih untuk melahirkanmu daripada membunuhmu. Maafin papa sayang.”

Setelah pemakaman. Cakka memasuki ruangan melukis Oik, ia masih penasaran dengan apa yang di lukis Oik selama ini.
Cakka membuka kain, betapa cantiknya lukisan itu. Oik kecil yang memegang kotak musik, namun di situ tidak ada lagi tongkatnya. Oik diapit dirinya dan Papanya, dengan sayap dipunggung.


Hari ini Cakka diresmikan bekerja di perusahaan Papanya.  Tak ada lagi amarah dan dendam. Papanya kini sudah mau menerima Oik sebagai anaknya walaupun terlambat.
Kini dihadapan semua client-clietn penting dan pegawainya, dan beberapa wartawan dari stasiun TV terkenal turut hadir.  Alvin memperlihatkan sebuah lukisan yang sempurna itu. lukisan dengan disampingnya bertuliskan –sayang Papa, Kak Cakka-
Dengan bangga, Alvin menceritakan tentang Oik. “Dan inilah karya terakhir Oik, anak saya.” Airmata Alvin turun dengan cepat ia menghapus, digantikan dengan senyuman. “Saya tegaskan kembali, anak saya bukan hanya Cakka Sindunata, tapi juga Oik Sindunata. Selamat tinggal Oik, Kami semua sayang sama kamu.” Cakka ikutan tersenyum di samping papanya, sesekali menghapus airmatanya.
Semua yang hadir di ruang rapat itu juga ikut tersenyum, dan sesekali ikutan menghapus airmata yang mengalir. Sorotan kamera, dan beberapa blitz foto menyorotnya, Cakka dan Alvin.

SELESAI



Template by:
Free Blog Templates